Sistem Birokrasi Rusak Picu Korupsi di Daerah



ZULKIFLI =BUDHA???????

Saya terhenyak, ketika berdiskusi dengan seorang penggiat pluralisme sampai kepada topik: Siddharta Buddha Gautama, “Seorang Nabi-kah ia?”

Pernah mendengar nama Nabi Zulkifli? Menurut teman diskusi saya, dalam konteks lughah al-arabiyah, kata “dzu” punya makna “orang atau fulan”, sedangkan kata “kifli” yang multitafsir itu, salah satunya dinisbatkan pada sebagai nama tempat bernama Kapilawastu. Dalam bahasa Arab, Kapilawastu disinonimkan dengan kata “kifli”.

“Jadi, Siddhartha itu Zulkifli?” Wallahu ‘alam bi al-shawab karena segalanya masih multitafsir.

***

buddha18.jpg

SIDDHARTHA berjalan jauh, menembus hutan, mengarungi sungai, mengembara ke desa dan kota-kota. Tapi ia tetap gelisah. Hatinya tak kunjung tentram.

Ia telah menanggalkan istana dan kebrahmanaannya, dalam usia belum genap 20. Meninggalkan ibu dan ayah yang sangat mencintainya. Ia bersalin rupa menjadi samana, bersama Govinda, teman yang mengasihinya lebih dari siapapun. Siddhartha membiarkan diri dibakar terik, cuma bercawat, bercambang dan gondrong, berpuasa, mematikan rasa. Tapi jawaban yang ia cari—tentang peran manusia dan dunia—selalu luput.

Dalam novel pendek Hermann Hesse berjudul “Siddharta” (1877-1962) yang terbit pada 1920 lalu dibuat versi filmnya pada 1972 ini, Siddhartha kemudian meninggalkan lakunya sebagai samana, setelah tiga tahun. Meninggalkan Govinda yang memilih menjadi murid Buddha Gotama. Siddhartha tidak. Dari orang suci itu pun anak tampan ini tak mendapatkan ketenangan dan jawaban yang memuaskan.

Ia pergi ke kota, bertemu Kamala dan Kamaswami. Kepada Kamala, pelacur yang sangat cantik dan cerdas itu, ia belajar main cinta. Kepada Kamaswami ia belajar berniaga. Siddhartha pun hidup praktis dengan kekayaan, dengan perempuan cantik yang kian lama kian jatuh hati kepadanya, dengan kekuasaan karena hartanya. Tapi Siddhartha tetap kecewa.

Ia pun kembali ke hutan. Bukan menemui Govinda, Buddha, atau kembali menjadi samana. Siddhartha menemui Vasudeva, tukang perahu udik yang dulu menyebrangkannya ketika akan ke kota. Ia terpesona oleh cara hidup Vasudeva yang sederhana tapi luhur budi. Bersama Vasudeva inilah, Siddhartha belajar kepada alam, membuka indra kepada lingkungan. Ia belajar bahasa sungai, karena dari ricik dan arus tenangnya, begitu katanya kepada Vasudeva, “Kita bisa mendengar pelbagai jenis suara, suara raja, orang hina, musafir…”

Tapi di desa inilah, Siddhartha payah sebagai ayah. Ia tak bisa mendidik anaknya ketika Kamala menyerahkan bayi mereka itu sebelum meninggal. Anak yang sama tampannya itu pun membangkang, menghancurkan perahu, dan kabur dari gubuk Siddhartha—bertolak belakang dengan apa yang ia lakukan dulu ketika meminta izin menjadi samana kepada ayahnya. Siddhartha pun terpukul dan sedih, dalam usia tua.

Saat ia tertidur di bawah pohon, Govinda menemuinya. Kedua teman masa kanak itu pun berangkulan. Siddhartha meminta Govinda mencium jidatnya. Saat itulah, Siddhartha berkata, “Sekarang aku tahu, Govinda, temanku… Kebijaksanaan tak bisa dikomunikasikan. Kebijaksanaan dan hidup hanya bisa diserap dengan bergumul bersamanya.” Inilah perkataan Siddhartha yang sangat terkenal dari novel ini, yang ditulis Hesse dengan liris dan terasa berusaha mengharukan.

Pertemuan itu menjadi simbol pertautan antara Siddhartha yang menemukan kesunyataan di luar ajaran, dengan Govinda yang hidup dalam ajaran. Saat mencium itu, Govinda melihat “ribuan wajah, timbulan tenggelam, hilang-nyata silih berganti… kerut wajah bayi yang masih merah, kerut wajah Siddhartha.” Pertemuan itu menjadi puncak dan simpul hidup Siddhartha. Selanjutnya, Siddhartha pun menjelma menjadi simbol Buddha, sebuah jalan spiritual yang diyakini oleh ratusan juta manusia di bumi ini.

***

Resapi kisah Siddhartha tadi. Dalam nomenklatur aqidah Islam, Nabi didefinisikan sebagai “siapapun makhluk Tuhan yang menerima wahyu Ilahi”. Wahyu punya konotasi pesan transenden dari sang Ilahi untuk disampaikan kepada segenap umat manusia, melalui perantaraan si penerima pesan. Pertanyaannya, wahyukah yang diterima Siddhartha?

Jika menilik sifatnya, wahyu selalu bermuatan universalitas yang berisikan visi Ilahi tentang bagaimana semestinya tercipta sebuah harmonisasi kehidupan. Nah, jika menilik pada sifatnya yang semacam itu, maka pesan spiritual yang diterima Siddharta merupakan pesan ilahi. Sayangnya, tidak banyak muslim dan penganut agama samawi yang mau mengakui klaim ini. Di mata mereka, kata samawi yang bermakna “dari langit” –kemudian dibumbui dengan dikotomi agama samawi dan bukan samawi – maka seolah-olah pesan yang diterima Siddhartha bukan datang dari langit. Ya sudah, biarkan saja perbedaan pendapat itu bergulir hingga akhir zaman kelak.

Ups, sebelum ditutup, teman diskusi saya kemudian membuat pertanyaan yang cukup efektif membuat saya sulit tidur. “Kamu pernah dengar Nabi Zulkifli?”

“Tentu saja,” jawab saya. Nama itu sangat familiar. Nah, lanjut teman saya, dalam konteks lughah al-arabiyah, kata “dzu” punya makna “orang atau fulan”, sedangkan kata “kifli” yang multitafsir itu, salah satunya dinisbatkan pada sebagai nama tempat bernama Kapilawastu. Dalam bahasa Arab, Kapilawastu disinonimkan dengan kata “kifli”.

“Jadi, Siddhartha itu Zulkifli,” pikir saya semalam hingga pukul 02.00 dinihari. Jika begitu, seorang Nabi-kah ia? Wallahu ‘alam bi al-shawab karena segalanya masih multitafsir.

DARI BLOG SOPWAN KALIFA

Filed under: Literatur Islam, Moslem Litherary, pluralisme , buddha, Nabi