Sistem Birokrasi Rusak Picu Korupsi di Daerah



Mawardi : pengangkatan seseorang dalam suatu jabatan merupakan suatu kepercayaan yang besar dalam pelaksanaan tugasnya


KUALA KAPUAS, Bertempat di Aula Dinas Pendidikan Kapuas, Kamis (9/6) telah dilaksanakan acara pelantikan dan pengambilan sumpah / janji jabatan bagi direktur, anggota badan pengawas Perusahaan Daerah Panunjung Tarung serta pejabat struktural Eselon III di lingkungan Pemkab Kapuas. Mereka yang dilantik dan diambil sumpahnya adalah Drs. H.M. Rasidi sebagai Direktur Umum, Supenpri, S.Sos sebagai Direktur Pemasaran, Kuderah Maslan sebagai Anggota Badan Pengawas, ketiganya untuk menempati pos jabatan pada Perusahaan Umum Daerah (Prusda) Panunjung Tarung Kabupaten Kapuas, sedangkan Drs. Irawan pejabat struktural Eselon III di lingkungan Pemkab Kapuas yang sebelumnya adalah Sekretaris Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Kapuas menempati posisi baru sebagai Sekretaris pada Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Kabupaten Kapuas.

Dalam kata sambutan Bupati Kapuas Ir. H.M. Mawardi, MM yang dibacakan oleh Wakil Bupati Kapuas Suraria Nahan, Dipl, ATP, ST menyatakan pengangkatan seseorang dalam suatu jabatan merupakan suatu kepercayaan yang besar dalam pelaksanaan tugasnya, untuk itu diperlukan pengabdian, kejujuran, keikhlasan dan tanggung jawab yang besar. Beliau juga mengatakan bahwa kegiatan mutasi, rotasi, dan promosi dalam jabatan adalah hal yang biasa dalam sebuah organisasi dan birokrasi juga merupakan salah satu bentuk perhatian pemerintah atas prestasi, dedikasi dan pengabdian, sekaligus merupakan kepercayaan pimpinan serta merupakan kebutuhan organisasi.

Hadir dalam acara tersebut beberapa pejabat, Kepala SKPD di lingkungan Pemkab Kapuas, serta instansi vertikal Kejaksaan Negeri dan Polres Kapuas, serta undangan lainnya (Zulkifli)

SUPENPRI USAHAWAN MUDA KAPUAS JABAT DIREKTUR PEMASARAN DI PRUSDA PANUNJUNG TARUNG


KUALA KAPUAS, Harapan Pemerintah Daerah pada Perusahaan Daerah Panunjung Tarung, agar perusahaan dapat mencapai tujuan secara optimal maka pengelolaan perusahaan harus dilaksanakan secara profesional melalui prinsip-prinsip ekonomi perusahaan dan perencanaan yang baik, terarah, terpadu, menyeluruh disusun dengan memperhatikan faktor-faktor internal dan eksternal serta menyikapi kemajuan pengembangan daerah.

Dimintai tanggapannya Supenpri, S.Sos usahawan muda yang kini dipercaya menempati posisi sebagai Direktur Pemasaran pada Perusahaan Daerah Panunjung Tarung Kabupaten Kapuas mengatakan, akan berusaha semaksimal mungkin melaksanakan tugas dalam jabatan yang diembannya dengan sebaik-baiknya untuk kemajuan perusahaan daerah tersebut.

Lebih spesifik pria yang sudah menekuni berbagai bidang usaha swasta ini mengatakan “Pada dasarnya sebuah perusahaan haruslah memiliki struktur pengelolaan yang tepat dan efisien, dengan adanya Pos Direktur Umum dan Direktur Pemasaran akan mempermudah akses jangkauan kerja dalam pencapaian target sebuah perusahaan “ katanya. Ditambahkan pula dengan adanya pemasaran tentu akan ada masukan untuk berkembangnya perusahaan didalam pemasaran tersebut diperlukan strategi marketing agar bisa meningkatkan daya saing,’’ pungkasnya menutup perbincangan. (Zulkifli)

Jurnalisme Investigasi



Mulai Mengendus sampai Menuliskannya

Is every journalist an investigative journalist?

Tidak ada satu pun jurnalis setuju dengan hanya satu jawaban. Direktur sebuah lembaga penulis dan reporter investigasi mengumpulkan sebelas pengalaman para jurnalis, salah satunya mereka diskusikan di organisasi tersebut. Dalam diskusi itu dibahas, sekitar, bagaimana kata-kata yang tepat melingkupi hal itu : “Setiap jurnalis adalah seorang jurnalis investigasi” atau “setiap jurnalis seharusnya juga seorang jurnalis investigasi” atau “setiap jurnalis bisa menjadi seorang jurnalis investigasi”. Kedengarannya sangat bagus untuk mengatakan setiap jurnalis adalah jurnalis investigasi, tetapi hal itu tidaklah benar.

Banyak jurnalis hanyalah melakukan tugas-tugas yang mengikuti proses yang resmi. Misalnya dia menghadiri pertemuan dewan kota, DPR atau pertemuan lainnya, menulis di notesnya atau merekam pertemuan, kemudian mengedit materi untuk memenuhi halaman atau mengisi waktu hingga deadline (tenggat). Banyak jurnalis bukanlah seorang investigator dengan alasan : karena mereka mengikuti agenda orang lain (bukan membuat agenda sendiri), dia gagal menangkap pembicaraan pribadi diantara anggota dewan kota, stafnya dan interes grup dan mereka tidak menge-chek daftar tanah, kontak-kontrak atau membuka-buka dokumen rahasia lain yang potensial, yang mendasari keputusan dewan atas suatu kebijakan. Mereka lebih banyak berlaku seperti stenographer dibandingkan reporter atau penulis yang curiga (curious) dan skeptis.

Lalu, apakah bijaksana menginginkan setiap jurnalis harus menjadi seorang jurnalis investigasi? Kenapa tidak. Setiap jurnalis dapat menjadi seorang jurnalis investigasi. Ini bukan sesuatu yang aneh, mengenai sesuatu yang memang sudah seharusnya. Hal itu membutuhkan kecurigaan yang intens tentang bagaimana dunia ini bekerja atau gagal bekerja. Rasa penasaran dibarengi dengan rasa skeptis akan memperkecil sinisme dan nihilisme. Ia tidak mudah menyerah, dengan apa yang didapat. Misalnya ia melihat suatu warna merah, ia harus yakin dibalik merah itu pasti ada hijaunya atau ada sesuatu dibalik itu.

Seorang profesor bidang jurnalisme di Universitas California San Fransisco, Leonard Sellers, menyimpulkan dalam pendapat yang sederhana mengenai Reporter Investigatif, yaitu reporter yang berusaha menyingkapkan informasi yang sengaja ditutupi, karena informasi itu melanggar hukum dan etika. Jadi terlampau sederhana dan menyesatkan kalau ada seorang redaktur sebuah media massa mengklaim “semua reporter kami adalah reporter investigatif.”

Untuk itu seorang reporter investigatif perlu orang-orang yang benar siap, menjadi pemimpin dari dirinya sendiri, punya keyakinan, jangan beranggapan berita akan didapat karena keberuntungan. Ada suatu pendapat “Kesempatan itu cenderung datang pada orang yang sudah siap.” Tidak ada reporter yang malas yang beruntung. Jika sudah memiliki pembawaan yang selalu siap, bukan berarti akan tegang, bisa juga dihadapi dengan rasa santai, bukankah rasa santai dapat diajarkan. Memang, reportasi investigasi adalah pekerjaan membuka pintu dan mulut yang ditutup rapat. Tidak mungkin ada pada orang yang benar-benar tidak siap.

Brit Hume seorang jurnalis investigasi, pernah ditanya mengapa ia memilih menggeluti reportase investigatif? Jawabnya, yang terpenting dalam jurnalisme adalah memberikan kepada publik informasi yang oleh pemerintah dilarang keras untuk diketahui. Tetapi tidak sekadar teori, karena korupsi dan kebohongan yang terjadi sekarang ini lebih banyak dibandingkan yang diduga orang, dan juga tentu lebih banyak dari yang diperkirakan kebanyakan reporter.

Kapan Investigatif Reporting berkembang? Reportase investigatif mulai tumbuh menjadi suatu bibit yang positif biasanya pada negara yang otoriter dan totaliter. Disana seorang jurnalis berusaha menyingkap hal-hal yang selalu ditutupi oleh penguasa, terutama begitu kuatnya tekanan (pressure) terhadap dunia jurnalistik. Nah, baru berkembang pada saat sang penguasa otoriter tumbang. Biasanya, pada zaman negara dipimpin oleh rezim penguasa yang otoriter atau totaliter, banyak jurnalis yang menjadi korban. Ada yang ditangkap, ada yang dibunuh seperti Udin dari Bernas Yogyakarta. Atau medianya ada yang dibredel, seperti kasus Indonesia Raya mengungkap kebobrokan dan korupsi di Pertamina yang melibatkan Soeharto dan Ibnu Sutowo. Atau seperti TEMPO, yang mencoba menulis secara lengkap soal skandal pembelian kapal perang bekas armada Jerman Timur, yang melibatkan Menteri Riset dan Teknologi, waktu itu B.J. Habibie dengan Soeharto dan Liem Soei Liong.

Kini, setelah Soeharto tumbang, banyak kasus yang selama ini gelap, mulai bisa diungkap, walaupun masih sedikit, dan masih tampak ditutupi. Masih banyak borok-borok, korupsi, manupulasi dan penyelewengan yang mengakibatkan rakyat sengsara, negara hancur dan kehidupan bangsa semakin terpuruk, untuk diinvestigatif. Misalnya, soal dana Jaringan Pengaman Sosial, dana Golkar, perginya harta Soeharto, bisnis militer, penggelapan pajak, pencucian uang, dan lain-lain, yang semuanya layak diinvestigasi.

Tahun 1690, pertamakali investigatif reporting dimulai oleh Benjamin Harris. Ia menerbitkan laporannya yang berjudul Public Occurrences, Both Foreign and Domestic (kejadian Umum yang berlangsung di luar dan dalam negeri) . Surat kabarnya dibredel, karena laporan itu tidak seijin Pengadilan Massachussets. Tahun 1721, James Franklin juga pernah harus meringkuk di dalam penjara, karena investigatif reportingnya dianggap opposan. Bahkan Presiden Amerika Serikat, Theodore Rosevelt, pernah marah kepada David Graham Philip, yang menulis laporan berseri The Treason of the Senate (kecurangan di Senat). Di Indonesia sudah banyak reporter yang harus meringkuk di dalam penjara, karena mencoba lebih jauh mengorek informasi dan menerbitkannya.


Mengendus Berita Investigatif

Ketika seorang tua mengeluh di ruang redaksi News/Sun-Sentinel, AS, Fred Shulte mencium adanya kejanggalan. “Rumah sakit veteran Miami, telah membatalkan begitu saja operasi bedah jantung yang telah dijadwalkan dua minggu sebelumnya. Hal ini gara-gara unit Bedah Jantung di rumah sakit tersebut ditutup tiba-tiba.” Dokter, yang akan mengoperasinya, menceritakan hal itu. Apa ini bukan kasus malpraktek?
Schulte mendatangi pihak administrasi rumah sakit. Para petugasnya, pada mulanya, menyangkal adanya penutupan. Padahal, menurut orang tua itu, ditutup karena beberapa operasi di unit bedah itu telah berakhir dengan kematian.
“Kukatakan pada mereka. Besok kami akan memuat berita bahwa 9 dari 10 pasien disini telah mati setelah operasi jantung,”kata Schulte.
Pernyataan itu lantas membuka jalan bagi investigasi Schulte. Pihak rumah sakit akhirnya mengakui telah menutup unit tersebut dari banyaknya operasi jantung, ditemukan 16 pasien telah meninggal, dengan frekuensi peristiwa lebih dari tiga kali rata-rata.
“Kami lalu memuat sebuah berita pendek untuk edisi malam,” seru Schulte.
Akan tetapi, selang sehari usai berita itu dipublikasikan, tutur Schulte, sebuah koran Miami mem-follow up. Isi beritanya, dengan mengutip keterangan dari seorang dokter yang bertugas di sana: mereka mengklaim bahwa berita yang dibuat Schulte itu tidak akurat.
Kisah ini menguraikan perjalanan pembuatan berita investigatif Fred Schulte
Sebagai awal, bagaimana proses berita investigatif dikerjakan, dengan akhir penyangkalan dari nara sumber yang tidak terliput saat melakukan kerja peliputan investigatif.
Kisah Fred Schulte ini merupakan gambaran dari banyak wartawan investigatif melakukan apa yang mesti dikerjakan. Semua itu, dimulai dari sebuah dugaan. Schulte mencium sebuah berita. Sebab, sebenarnya, ia bisa saja dengan mudah menyingkirkan orang itu dan berkata pada dirinya sendiri, “Kenapa aku mesti mendengarkan orang ini, atau mempercayainya ?” Namun, ia menaruh sebuah dugaan. Ia mengikutinya, dan akhirnya, menulis sebuah serial pemberitaan yang hard-hitting bagi masyarakat.
Berita spot ini menjelaskan unsur investigatif yang hendak mengungkapkan adanya pelanggaran, skandal, atau kejahatan. Basis pengisahannya tidak berbeda dengan pelaporan berita yang hendak mengungkapkan adanya sebuah kejadian.

Tujuan Jurnalisme Investigatif

Tujuan kegiatan jurnalisme investigatif adalah memberi tahu kepada masyarakat adanya pihak-pihak yang telah berbohong dan menutup-tutupi kebenaran. Masyarakat diharapkan menjadi waspada terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan berbagai pihak, setelah mendapatkan bukti-bukti yang dilaporkan. Bukti-bukti itu ditemukan melalui pencarian dari pelbagai sumber dan tipe informasi, penelaahan terhadap dokumen-dokumen yang signifikan, dan pemahaman terhadap data-data statistik.

Dari tujuan tersebut, dapat terlihat adanya tujuan moral yang hendak ditegaskan. Segala apa yang dilakukan wartawan investigatif dimotivasi oleh hasrat untuk mengoreksi keadilan, menujukkan adanya sebuah kesalahan. Bahkan, bila ditelusuri lebih jauh, berbagai definisi jurnalisme investigatif mengamsalkan moralitas wacthdog pers. Upaya memberitahukan kepada masyarakat akan adanya ketidakberesan di sekitar mereka, mempengaruhi masyarakat mengenai situasi yang terjadi.

Dorongan moral untuk mendapatkan kebenaran dan mengklarifikasi perbedaan antara benar dan salah, sebagai kandungan kisah-kisah keadilan, memang terkait erat dengan kisah-kisah berita investigatif. Wartawan investigatif kerap menarik masyarakat untuk terlibat mendiskusikan standar moralitas yang harus ditetapkan. Standar yang mereka kenali, dan diyakini akan menyadarkan masyarakat. Secara naluri, mereka membuat batasan antara aturan dan penyimpangan, Maka itulah, di banyak kasus, citra wartawan investigatif menjadi romantik ketika disamakan dengan sosok-sosok yang memiliki keberanian untuk menolak kemapanan aturan dan penyimpangan masyarakat.

Moral, menurut Mencher (Melvin Mencher, News Reporting and Writing, Brown & benchmanrk Publishers,1997) merupakan unsur penting di dalam peliputan investigasi. Wartawan mengumpulkan segala bukti yang menguatkan fakta, yang hendak disampaikannya kepada masyarakat, adalah didorong oleh motivasi moral: the desire to correct an injustice, to right a wrong, dan persuade the public to alter the situation. Hal itu bermula dari saat wartawan investigasi menemukan sebuah situasi yang buruk, salah, memerlukan perubahan.

Maka itulah, aktifitas jurnalisme investigasi mencakup fungsi-fungsi to describe, to explain, and to persuade. Mereka kumpulkan akumulasi materi faktual ke dalam gambaran pengisahan yang utuh. Banyak dari pelbagai materi itu yang perlu dijelaskan: dengan mengurutkan kembali letaknya di sebuah konteks, dan menunjukkan keterkaitannya, sebab-akibatnya, atau konsekuensinya. Semua itu, pada akhirnya, memperlihatkan adanya dorongan motivasi wartawan untuk mempersuasi masyarakat, mengapa wartawan investigasi sampai harus menelusuri rangkaian materi liputan yang dapat membuktikan adanya fakta-fakta semacam pelanggaran. Hal itu disebabkan oleh motivasi moral wartawan untuk mengoreksi adanya pelanggaran keadilan di masyarakat, dan mempengaruhi masyarakat dengan menunjukkan dimana letak kesalahannya.

Pada sisi akhir, pekerjaan jurnalisme investigatif malah mengajak masyarakat untuk memerangi pelanggaran yang tengah berlangsung dan dilakukan oleh pihak-pihak tertentu. Kerja jurnalisme investigatif masuk ke dalam pelbagai wacana publik yang tengah bergejolak, atau berkonflik. Pada momen-momen kemasyarakatan tertentu, para jurnalis investigatif ikut terlibat di dalam alur perkembangan politik nasional.

Kebenaran itu diupayakan melalui kerja serius memenuhi tugas jurnalistik menyampaikan informasi secara tepat-waktu, cermat, dan efektif, untuk memberikan gambaran yang akurat ke dalam benak para anggota masyarakat. Untuk itu, jurnalisme investigatif sangat menghitung sekali kemungkinan mendatangi sumber-sumber yang keliru, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang lemah, membuat penilaian buruk, menekankan titik-titik yang salah, menuliskan berita secara tidak cermat, dan tidak mengecek ulang berita yang ditulis sehingga menyebabkan biasnya nilai berita, serta mengakibatkan di masyarakat terjadi salah persepsi, masing-masing anggota publik memahami berita itu secara sendiri-sendiri.

Mengembangkan Fakta Dangerous Projects

Pada titik ini pula, jurnalisme investigasi dialokasikan sebagai pekerjaan berbahaya, Dangerous Projects. Para wartawannya berhadapan dengan kesengajaan pihak-pihak yang tidak mau urusannya diselidiki, dinilai, dan dilaporkan kepada masyarakat. Peliputan semacam pelacuran anak-anak di bawah umur mengharuskan Paul Ehrlich, dari Reader’s Digest, mesti bekerja di tengah orang-orang yang penuh dengan ketakutan. Walaupun mereka mengharapkan bahwa kegiatan pelanggaran di dunia prostitusi itu harus segera diakhiri. Mereka begitu sukarnya untuk menyampaikan berbagai keterangan yang diperlukan, sebelum mereka mempercayai betul apa yang tengah dikerjakan Ehrlich.

Wawancara pun akhirnya sering dikerjakan di tempat-tempat yang terpencil, pada saat malam larut atau fajar pagi mulai terbit. Bahkan, ketika Ehrlich hendak memulai liputannya, dalam kerja reportase yang baru di tingkat amatan dan pertanyaan-pertanyaan awal, seseorang telah mendatanginya, dan berseru, “Don’t ask too many questions. It can be dangerous”.

Kewaspadaan, di dalam karir kewartawanan, menjadi penting. Sampai seorang Bob Greene, di dalam karir panjangnya di Newsday sebagai wartawan investigatif yang membawahi bidang politisi, mesti menyiapkan sepucuk pistol di kantung dalam pakainnya. Ia harus waspada terhadap gelombang marah yang muncul dari semangat gerombolan (mobsters) kelompok politik tertentu.

Keberhati-hatian diperlukan bukan hanya untuk keselamatan jiwa. Semua itu bermula dari motivasi menyampaikan the wright a wrong. Pelbagai akumulasi materi, yang telah ditelusuri, pada ujungnya, tertuju kepada sebuah konklusi fakta: bahwa ada kenyataan yang salah yang terjadi di masyarakat. Dengan kata lain, kumpulan data dan materi investigasi hanya sebuah bahan untuk sebuah fakta.

Investigative journalism bukan hanya menyampaikan sebuah dugaan adanya sebuah persoalan pelanggaran, melainkan juga merupakan kegiatan memproduksi pembuktian konklusif dan melaporkannya secara jelas dan simpel.

Hal ini terkait dengan kegiatan membuat pengisahan menjadi berkembang pada keadaan ketiadaan dokumen dari pihak-pihak yang hendak dilaporkan pelanggarannya. Kalaupun semua bahan telah terkumpul, hal itu berkemungkinan hanya membuat kisah tentang dugaan-dan-penyangkalan, meletakkan para pembaca untuk memutuskan sendiri siapa yang dipercayainya. Kisah-kisah macam itu memiliki nilai yang tinggi bagi berbagai media massa.

Untuk menghindari penuntutan, mereka menyediakan waktu-waktu untuk riset yang sangat panjang. Kisah-kisah mereka harus bisa meminimalisir resiko salah di dalam menyebutkan berbagai tuduhan di pemberitaan mereka. Pembuktian yang baik, dan disepakati banyak pihak, merupakan salah satu alat untuk berbagai penyangkalan yang dikemukakan berbagai pihak yang dirugikan.

Karena itulah, kegiatan jurnalisme investigatif terkait dengan upaya mengembangkan bangunan fakta-fakta. Pelbagai dokumen dieksploitasi interpretasinya. Pelbagai konsesi diperhatikan dampak-dampaknya. Pelbagai klaim dan tuntutan dihitung kerangka pemikirannya. Pelbagai indikasi ditelusuri, dicari melalui berbagai pernyataan.

Pelaporan jurnalistiknya menjadi tidak hanya menyampaikan keseimbangan antara dugaan dan penolakkan. Hasil liputannya mengeluarkan sebuah judgement yang didasari oleh fakta-fakta yang melingkupi persoalan yang dilaporkan wartawan. Koleksi dan presentasi pembuktiannya tidak boleh berat sebelah, harus adil membagi tudingan, tidak boleh mengarahkan, condong memberatkan pihak tertentu. Kerja reportasenya mesti menyiapkan perangkat kejelasan fakta-fakta yang kuat.

Pekerjaan pengepakkan fakta-fakta ini memang merupakan kelaziman bagi kegiatan jurnalistik. Pada dasarnya, setiap wartawan mengerjakan peliputan yang dilakukan investigative reporters. Bruce Page, ketika di The Sunday Times, memberikan argumen tersebut, dalam hal bahwa pekerjaan jurnalisme investigatif mementingkan sekali kesiapan kerja kewartawanan untuk “selalu mengecek fakta-fakta, tidak mudah menaruh kepercayaan pada segala sesuatu, tidak langsung mempercayai orang-orang yang memiliki kepentingan di dalam pandangan-pandangannya.”

Kerja investigasi, membuat pelbagai isi media massa memiliki perbedaan dibanding dengan brosur sebuah iklan. Kerja keras para wartawan dalam meningkatkan pelaporan jurnalistik yang bermutu. Nilai mutunya terletak di dalam membangun dasar fakta-fakta.

Sebuah Area Tersembunyi

Bila ditarik ke belakang, jenis pemberitaan jurnalisme investigatif memiliki ciri yang tidak jauh berbeda dengan konsep pemberitaan yang ada di dalam terminologi jurnalistik. Definisi berita memberikan ilustrasi bahwa pada tiap pelaporan wartawan selalu diperlukan upaya untuk “mengendus” kejadian yang dibutuhkan masyarakat. Berita sendiri mendefinisikan adanya upaya pelaporan wartawan, bila tidak ditulis peristiwanya oleh wartawan maka peristiwa tersebut hanyalah akan menjadi sekadar informasi yang beredar dari mulut ke mulut di masyarakat; atau sekadar menjadi laporan dari berbagai lembaga kemasyarakatan atau pemerintah yang terkait dengan peristiwa tersebut.

Kerja investigasi wartawan kerap menemukan area liputan yang mesti dibuka dengan sengaja, dicari dengan hitungan asumsi tertentu, dan dikontak dengan ketekunan dalam menarik narasumber untuk membeberkan keterangan yang diperlukan. Berbagai narasumber bahkan diasumsikan berkemungkinan untuk corupt, memanipulasi keterangan. Karena itulah, pelbagai data dan keterangan yang didapat dari sebuah kisah berita memerlukan analisa kritis wartawan investigatif. Tidak sesedarhana di dalam peliputan yang dapat langsung mencatat pelbagai rentetan keterangan dari sebuah peristiwa berita reguler, atau seremonial.

Para wartawan investigasi juga kerap harus jeli dan waspada terhadap pelbagai kisah berita yang tersebar di masyarakat. Beberapa pihak sengaja menyewa perusahaan public relations (Hubungan Masyarakat) untuk membuat perencanaan kisah berita tertentu. Lalu, membayar kerja pengacara untuk menyangkal berbagai isu yang tersebar. Publik tentu saja akan menolak paparan kisah berita yang dikemukakan para petugas Hubungan Masyarakat (Humas). Dari sanalah, para pekerja media jurnalistik memulai rangkaian liputan investigasinya.

Mereka mulai meneliti pelbagai item berita yang dapat diungkap untuk konsumsi pemberitaan media harian dan mingguan. Mereka juga mulai menyusun strategi untuk wawancara yang dapat membuka selubung bukti keterangan yang sengaja dirancang. Selain itu, juga memulai rancangan kegiatan penulisan yang dapat diterima publik.

Antara Paper & People Trails

Salah satu jenis unggulan jurnalisme, yang mewadahi kapasitas yang diperlukan oleh para reporter investigatif, ialah kemampuan untuk menentukan lokasi permasalahan, kemampuan memahami dan menujukkan pelbagai keterangan dan dokumen yang digunakan untuk menjelaskan kenyataan kisah.

Dari banyak kasus yang dilaporkan wartawan investigatif, dapat diukur berbagai tingkat kedalamannya. Pekejaannya hampir mirip dengan target yang dituntut dari seorang pengacara pada masa kerja tahun keduanya, atau pertugas asuransi pada fase ke sekian masa kerjanya. Keberhasilan menyusun data-data, dan merumuskannya, serta menentukan keputusan yang tepat, adalah tuntutan yang harus dipenuhi, juga, oleh pekerjaaan jurnalisme investigatif. Disini, berarti adanya upaya menelusuri pelbagai catatan publik (public records).

Para reporter menjadi harus sepersis kemampuan konselor investasi saham ketika menelusuri pelbagai keterangan yang dimiliki sebuah perusahaan, di dalam mengungkap kasus bisnis. Dan masyarakat, adalah publik yang ingin dilayani dalam sebuah fase ketika ia membuka halaman-halaman koran pagi atau menonton siaran berita malam, sebagai bahan untuk memutuskan kebenaran yang mereka perlukan.
Hal ini terkait dengan upaya menelusuri pelbagai catatan publik yang ada di berbagai tempat. Juga, meliputi kemampuan mempenetrasi pertanyaan kepada sumber-sumber berita, di dalam mengarahkan jawaban yang terkait dengan permasalahan yang hendak diungkap. Pertanyaan bukan hanya diarahkan kepada para nara sumber, akan tetapi upaya mempertanyakan harus diteruskan pula kepada pelbagai catatan (records) yang kelak menjadi jawaban penting di dalam merumuskan titik pelanggaran yang hendak diungkap kasusnya.

Hal ini mengindikasikan bahwa pekerjaan wartawan investigatif bukan hanya mencatat jawaban who, what, where, when, how, dan why. Dan secara akurat siap dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Jurnalisme investigatif lebih mengarahkan kegiataannya kepada bagaimana sesuatu itu bekerja, how things work, atau bagaimana mencari sesuatu itu bekerja, how to find out how things work. Jika dijabarkan dengan bidang-bidang permasalahan yang terjadi di masyarakat, hal itu tercermin di dalam penelusuran seperti bagaimana menjelaskan kekuatan-kekuatan politik di sebuah komunitas berkeja, bagaimana pengaruhnya bermain, bagaimana mengevaluasi performa salah satu departemen atau agensi di kelembagaan pemerintahan atau masyarakat.

Di bidang ekonomi, tersangkut dengan upaya menjelaskan sebuah hasil kegiatan bisnis yang tidak memenuhi mekanisme prosedur yang legal, dan mempengaruhi pertumbuhan pendapatan dari sebuah kota, atau telah mengakibatkan kerugian para pemegang saham atau konsumen. Dalam bidang pendidikan, menelusuri penjelasan yang benar mengenai sistem pendidikan di berbagai sekolah, bagaimana kebijakan yang mesti diambil ketika putaran uang telah mencapai angka keuntungan yang milyaran rupiah, atau penjelasan isu-isu pelanggaran kebijakan pendidikan yang dilakukan lembaga-lembaga pendidikan lokal.

Dari kegiatan peliputan semacam itulah, jurnalisme investigatif melaksanakan tugasnya. Para reporternya mengarahkan reportasenya pada pencarian pelbagai hal yang ada di balik sesuatu kegiatan. Dan, terlebih penting, adalah upaya mendapatkan the real answers, jawaban-jawaban yang benar, tepat, sesuai dengan kenyataan.

Untuk itu, kegiatan bertanya di dalam terminologi jurnalisme investigatif tertuju pada pertanyaan-pertanyan mendasar, seperti: apa saja yang mendorong sesuatu dapat terjadi. Apa statusnya dan apa implementasi peraturannya. Apa kertas kerja yang diperlukan bagi kelengkapan dokumennya. Jika menyangkut sebuah profesi, apa standar yang dapat dipergunakan untuk mengevaluasinya. Dan, akhirnya, apa pelbagai perbedaan (jika ada) antara yang orang katakan tentang kegiatan tersebut, apa yang diminta mereka untuk itu, dan apa kenyataan yang mereka lakukan.

Dari kerangka pemikiran seperti itu, terjadi antara lain dua bentukan umum kerja jurnalisme investigatif, yakni terkait dengan pekerjaan menginvestigasi dokumen-dokumen publik (the paper trails), dan pelbagai aspek dari investigating individuals, penyelidikan terhadap subyek-subyek individu yang terkait dengan permasalahan.

Penelusuran Dokumentatif

Kegiatan meneliti paper trails ialah pekerjaan menelusuri berbagai materi yang bersifat dokumentatif. Riset menjadi pekerjaan lanjutan yang sangat berperan. Hal ini mencakup pekerjaan mencari bahan-bahan dokumentasi dari publikasi koran, majalah, newsletter, siaran televisi dan radio, buku-buku referensi, disertasi dan tesis, buku-buku lain, database komputer, internet. Juga, dokumen-dokumen primer yang ada di berbagai kelembagaan pemerintah dan masyarakat, naskah-naskah peraturan perundang-undangan, data-data mengenai kelahiran dan kematian, dan berbagai akses data komputerisasi lainnya.

Dengan kata lain, ada sifat kerja intelektual, yang harus disiapkan oleh reporter investigatif sebagai kunci pembuka kasus-kasus yang hendak diungkapkannya. Mereka harus memiliki penalaran untuk mendapatkan catatan dokumentasi, dan kemampuan mengaksesnya secara legal yang tidak semudah liputan reguler. Penelusuran dokumen merupakan sarana untuk mengecek kebenaran dari apa yang dikatakan nara sumber terhadap sebuah peristiwa. Berbagai dokumen itu kerap menjadi batu loncatan, dasar pijakan, bagi bangunan kisah mengenai korupsi, penyelewengan tugas, konflik kepentingan, atau salah-manajemen. Pada momen tertentu, keseluruhan kisah mungkin telah terbangun melalui hanya lembara catatan keuangan (financial records). Namun, pada umumnya, kerja investigatif baru terlihat hasilnya setelah melewati prosedur dasar jurnalistik: berbicara dengan banyak orang, mengajukan pertanyaan, mencari jawaban.
Pekerjaan paper trails membutuhkan upaya pengembangan sistimatika perencanaan untuk mengorganisir keseluruhan informasi. Pekerjaan membuat indeks dan menyimpannya di dalam rancangan yang sistematis, untuk memudahkan pengulasan terhadap bahan-bahan yang dibutuhkan. Pekerjaan membuat urutan kronologis peristiwa berdasarkan waktu kejadian. Pengendalian terhadap berbagai bahan yang terkumpul, dan kerap didapat dari sekian bulan masa pencarian, dengan jumlah ratusan ribu dokumen.

Untuk itu, di dalam penelusuran dokumen, pendekatan analisis sistem pun dipakai. Pekerjaan membuat penganalisaan secara sistemik ini tertuju kepada penghitungan terhadap sistem kerja peliputan yang akan dilakukan, dan perancangan terhadap pengumpulan pelbagai informasi hendak ditujukan.

Penelusuran Nara Sumber

Investigating Individuals adalah istilah lain dari people trails, yaitu menyangkut kegiatan pencarian dan wawancara dengan para nara sumber. Hal ini terkait dengan kegiatan mendapatkan keterangan dari para nara sumber yang berwenang, kredibel, dan legitimet, untuk memperkuat pembuktian dari fakta yang hendak dilaporkan. Bukan hanya mencatat pandangan dari para pakar/ahli, wartawan investigatif juga harus mampu menembus nara sumber yang terkait dengan permasalahan yang hendak diungkap, seperti para mantan pejabat, eksekutif, dan pekerja lainnya, bahkan orang-orang luar yang mengetahui persoalannya.

Dapat melakukan wawancara dengan mereka, merupakan langkah penting lain yang mesti dilakukan wartawan investigatif. Banyak dari mereka yang harus diberi kepercayaan dahulu sebelum mau untuk diajak wawancara. Meraih kepercayaan ini bukan pekerjaan mudah. Untuk itulah, teknik interviu pun menjadi sarana lanjutan dari wartawan investigatif. Mereka harus menguasai pelbagai teknik mendapatkan keterangan-keterangan penting dari orang-orang yang diajak wawancara.

Finding the people adalah kunci setelah sebuah kisah investigatif ditemukan wartawan. Reportase investigatif membutuhkan pertolongan orang-orang yang relevan, yang terkait dengan kisah yang hendak disampaikan. Dari pelbagai nara sumber yang mau diajak wawancara, wartawan investigatif kerap menemukan rekomendasi penting bagi pelacakan selanjutnya. Para informan menjadi petunjuk rangkaian kisah hendak dikembangkan. Walau pun, dari para informan, kerap harus dihadapi resiko untuk tak disebutkan jati dirinya – yang merupakan hal yang harus diminimalisir di dalam pelaporan jurnalistik. Karena itu, “janganlah dikutip pernyataan orang yang tidak diketahui keberadaannya,” saran Spark. Namun, bila semuanya telah absah dan memungkinkan, kutipan para informan amat diperlukan.

Sering permasalahan muncul dari soal pencarian nara sumber yang menjadi kunci pembuka keterangan. Jack Tobin memaparkan pengalamannya mencari seorang Jane Smith, yang menjadi nara sumber liputan investigasinya, selama hampir tiga bulan, di kota Los Angeles yang berjumlah sepuluh juta lebih penduduknya. Kisah liputannya mencantumkan nama Jane Smith untuk jarak waktu sebelum Perang Dunia Ke-2, yakni pada 1940. Melalui riset kepustakaan di berbagai catatan kependudukan, Tobin berhasil menemukan buruannya. Semua itu didapat melalui upaya reportase investigatif yang terfokus kepada segala keterangan yang terkait dengan rincian kehidupan individu yang hendak dijadikan nara sumber. Untuk itu, dalam perkembangan masyarakat seperti Amerika, berbagai sumber dan media informasi dapat dipergunakan, seperti: newspaper libraries, buku-buku telepon, city directories, para tetangga, registrasi pemilikan SIM, para peserta pemilu, catatan kelahiran, sampai ke catatan-catatan yang bersifat komersial (Uniform Commercial Code fillings), catatan keputusan pengadilan (pailitnya perusahaan, pajak, perceraian, dsb), dan catatan tesis dan disertasi universitas.

Untuk mendapatkan semua catatan itu, wartawan investigatif mesti memahami betul proses mendapatkan kemudahan berbagai data di berbagai tempat. Mereka mesti dapat membuat jalinan hubungan yang bersahabat dengan orang-orang yang bekerja, dan mengetahui betul, pelbagai catatan yang hendak dicari di tempat-tempat yang menjadi area investigatif. Hal itu bukanlah berarti pejabat penting, semacam para kepala bagian atau departemen, melainkan orang-orang yang benar-benar menguasasi betul bagaimana tempat tersebut bekerja.
Sikap simpatik dari seorang pegawai adalah sarana menuju kemudahan pencarian data, bahkan, kerap menolong para wartawan investigatif untuk mendapatkan keseluruhan data penelitiannya. Sesudah mendapatkan dokumentasi yang dibutuhkan, segeralah membuat kopian lembarannya sebagai bahan bukti yang akan menjadi penting kelak. Dari banyak kasus liputan investigatif, berbagai keterangan yang hanya dicatat oleh wartawan sering menjadi tidak berarti ketika memasuki ruang pengadilan – yang dituntut oleh pihak-pihak yang dirugikan di dalam pemberitaan. Ketika para wartawan investigatif menunjukkan catatan data mereka, para pengacara pihak lawan meminta bukti. Dan bukti tersebut sering telah “dibersihkan” dari tempat-tempat yang telah didatangi sebelumnya oleh para wartawan investigatif.

Standar dan Kiat

Seorang reporter investigatif dengan redaktur yang siap mendukungnya adalah orang yang berbahagia. Karena, mereka terikat pada standar-standar moralitas personal dan sosial, yang berbeda dari para reporter biasa. Ia punya standar dan kiat tertentu.

Tidak Terikat Deadline. Seorang reporter investigatif, tidak terikat pada deadline (tenggat). Artinya ia tidak akan diminta membuat laporan harian. Ia diberi waktu, dengan masa rentang waktu yang lebih lama. Sehingga ada kebebasan mengembangkan bahan-bahan yang sudah diperoleh. Misalnya dari seorang sumber yang berhasil dikorek keterangan, diperoleh nama lain, dan nama yang disebut itu harus dikejar juga untuk memperoleh informasi yang lebih dalam. bagaikan kartu domino tak berhenti, sampai kartu itu habis atawa gaple.

Bluffing. Ada satu taktik (kiat) yang biasa digunakan oleh reporter investigatif, bluffing (menggertak), seolah-olah mengetahui sesuatu dan mengajukan sebuah pertanyaan tajam atau taktik menuduh seorang tokoh kunci melakukan sesuatu, padahal anda sendiri tahu bahwa tokoh tersebut tidak mungkin terlibat di dalamnya. Kalau pertanyaan tajam yang anda ajukan atau taktik, tentu sumber anda akan menjawabnya. Kelemahannya, bila seorang reporter bersikap seolah-olah ia mengetahui sesuatu secara pasti, tapi, bila ia melakukannya kurang persiapan, maka bahaya-lah yang akan datang pada diri reporter itu.
Reporter, yang memperlihatkan ketidaktahuannya, justru akan melumpuh dirinya.

Selain itu seorang reporter investigatif, harus juga memahami apa yang dikatakan seorang sumber dan memahami informasi itu untuk melindungi/menjamin kerahasiaan identitas si sumber agar si pemberi keterangan bisa terhindar dari ancaman yang mungmin terjadi terhadap dirinya. Dibawah ini beberapa aturan dasar sederhana mengenai keterangan dari sumber :

On the record. Semua pernyataan boleh langsung dikutip dengan menyertakan nama, serta gelar orang yang memuat pernyataan tersebut. Kecuali bila disepakati lain, semua komentar dianggap boleh dikutip.

On Background. Semua pernyataan boleh langsung dikutip, tetapi tanpa menyebutkan nama atau gelar orang yang memberi komentar itu. Jenis penyebutan yang akan digunakan harus disebutkan atau disepakati lebih dahulu, pejabat sekretariat negara (istana), juru bicara pemerintah, pengacara pemerintah dan sebagainya. Jenis penyebutan yang akan digunakan mempunyai arti penting, sebab para nara sumber seringkali khawatir akan mudah dilacak berdasarkan informasi yang keluar itu.

On Deep Background. Apapun yang dikatakan boleh digunakan, tetapi tidak dalam sesuatu kutipan langsung dan tidak untuk sembarang jenis penyebutan. Reporter harus menggunakan informasi yang diperolehnya untuk dirinya sendiri, tanpa menyebutkan sumbernya, apakah dari sebuah departemen atau pejabat pemerintah. Biasanya, reporter tidak menyukai jenis penyebutan yang seperti ini, sebaba para pejabat seringkali memanfaatkannya untuk mereka-reka berita atau untuk mengapungkan umpan tanpa harus mempertanggung jawabkannya.

Off the record. Informasi yang diberikan secara off the record hanya diberikan kepada reporter dan tidak boleh dicetak atau disebar luaskan dengan cara apapun. Informasi ini juga tidak boleh dialihkan kepada narasumber lain dengan harapan informasi itu kemudia boleh dikutip. secara umum, rencana penyampaian berita secara off the record harus disepakati terlebih dahulu oleh reporter. Bahaya menyetujui menerima informasi secara off the record adalah bahwa reporter terikat untuk tidak menggunakan informasi tersebut - sekalipun informasi itu diperoleh dalam bentuk lain dari narasumber yang lain-sampai ada pihak lain yang menerbitkannya. Untuk itu, seorang reporter harus pandai-pandai memilah-milah, yang off the record apa tidak atau tawar menawar soal itu sampai hal yang paling kecil dan tidak berguna yang dinyatakan off the record. Atau tinggalkan saja sumber itu bila ada sudah mempunyai posisi tawar (bargain position) yang lebih tinggi.


Bagan Penulisan Investigatif

Penulisan hasil investigasi tak cukup dengan satu atau dua halaman majalah saja, tetapi harus lebih dari itu, mulai dari 6 sampai 16 halaman. Yang paling penting dari tulisan itu agar mudah dibaca dan mudah dipahami masyarakat, sekaligus memberi kesempatan kepada yang disangkakan. Bagai tulisan untuk investigative terdiri dari :

1. Tulisan Utama 2-4 halaman – isinya menyangkut keseluruhan cerita untuk menggambarkan persoalannya.
2. Boks – 1-2 halaman kasus khusus- tulisan mengenai kasus khusus yang berkaitan dengan investigative (misalnya sosok orang atau perusahaan tersebut)
3. Infografik data-1-2 halaman – berisi data-data kasus tersebut.
4. Time Line-sepanjang tulisan utama-catatan waktu untuk memudahkan pembaca memahasi tulisan itu
5. WWc-1 –2 halaman Pihak yang berwenang dalam kasus itu dan atau korbannya.
6. Wwc 1-2 halaman pihak yang dituding atau dirugikan dalam pemberitaan itu.

Jakarta, 9 Mei 2006
Ahmad Taufik
taufik@tempo.co.id anggota Aliansi Jurnalis Independen, bekerja untuk Majalah Berita Mingguan TEMPO

Bahan :
1. Sebagian besar disarikan dari Jurnalisme Investigasi, Septiawan Santana K., Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 2003
2. The Reporter’s Handbook, Steve Weinberg, New York 1996.
3. Etika media Massa, William L.Rivers et.al, Gramedia 1994
4. Liputan Investigasi, Albert Kuhon, Independen Watch April 1999.
SUMBER : http://ahmadtaufik-ahmadtaufik.blogspot.com

Wartawan Bodrek vs Citizen Journalist


Oleh : Muhibuddin

Begitu mudahnya sekarang menjadi wartawan. Asal ada kemauan, saat itu juga bisa menyandang profesi wartawan. Apalagi, jika punya kesanggupan berburu berita yang bisa memasok ‘gizi' ke media yang menaunginya. Tak usah menunggu waktu, orang awam pun segera dibikinkan kartu pers untuk modal peliputan berita. Simpel sekali prosedurnya, bukan?

Tapi, tunggu dulu. Tak sembarang media pers segampang itu merekrut wartawan. Media-media besar dan mapan, umumnya sudah menerapkan standar profesional dalam rekruitmen wartawan. Bahkan dalam komunitas media pers kategori ini, untuk menjadi wartawan profesional prosedurnya justru tak kalah ketat dengan seleksi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), misalnya.

Dari gambaran di atas, bisa dimaklumi kalau kemudian dalam dunia pers muncul perbedaan wartawan ke dalam tipologi ‘wartawan beneran' dan ‘wartawan bodrek'. Yang disebut terakhir, tak lain adalah orang-orang yang masuk ke habitat pers tapi sepak terjang jurnalistiknya justru banyak mencemari dunia pers itu sendiri.

Jurnalisme Kartu Pers

Keberadaan wartawan bodrek memang tak bisa dipandang sebelah mata. Sebab, faktanya, mereka juga berkalung kartu pers sebagai bukti fisik identitas diri seorang wartawan. Soal, apakah mereka produktif dalam menghasilkan karya jurnalistik atau tidak, itu menjadi urusan lain. Karena itulah, dari perspektif ini, rasanya sulit mencari alasan untuk tidak mengkategorikan mereka ke dalam komunitas wartawan.

Bondan Winarno pernah mengatakan, dari segi penampilan, tidak ada perbedaan nyata antara wartawan bodrek dengan wartawan beneran. Sebagai wartawan, wawasan mereka memang dangkal, karena tujuan utamanya memang semata bukan untuk kepentingan jurnalistik. Tetapi, tidak jarang dari mereka punya daya intuisi dan investigasi yang tajam (Republika, Minggu 22/5/2005).

Dalam menjalankan misi jurnalistiknya, wartawan bodrek biasanya berlindung di balik kartu pers resmi dari medianya maupun dari beragam organisasi profesi kewartawanan. Karenanya, mereka akhirnya lebih mengedepankan ideologi ‘jurnalisme kartu pers' ketimbang mengaktualisaikan jargon-jargon ideal jurnalism yang menjadi ruh dari media pers.

Di panggung pers nasional, ironi wartawan bodrek sebenarnya bukan cerita baru. Bukankah dari dulu sudah muncul sindiran adanya wartawan tanpa surat kabar (WTS) yang ulahnya seringkali mencemari intitusi pers? Hanya saja, kalau kini keberadaan wartawan bodrek kian menuai sorotan, itu barangkali karena jumlah ‘pasukan' mereka memang kian menjamur.

Diakui atau tidak, wartawan bodrek semakin bertambah subur seiring bergulirnya liberalisasi pers pasca reformasi 1998. Sejak itu, kontrol birokrasi terhadap keberadaan media pers begitu longgar. Dengan demikian, sebuah media pers bisa meluncur begitu saja tanpa harus lewat prosedur yang rumit. Berbarengan dengan itu, siapa pun seolah juga bisa masuk dalam komunitas pers. Siapa pun juga bisa membikin media sekalipun tanpa ditopang sumber dana dan sumberdaya manusia yang punya concern terhadap idealisme pers.

Konsekuensinya, bermunculanlah ‘wartawan karbitan' yang kinerja jurnalistiknya kadang jauh dari cita-cita ideal pers itu sendiri. Jangan heran kalau kemudian muncul media pers yang merekrut jajaran redaksi hingga wartawan secara serampangan. Kartu pers yang seharusnya diterbitkan secara ketat dan selektif, akhirnya ‘diobral' untuk membekali ‘pasukan' yang melakukan tugas jurnalistik di lapangan.

Jadilah, kartu pers menjadi segala-galanya. Status profesi wartawan, akhirnya cukup dilihat dan diukur dari parameter kepemilikan kartu pers. Dalam konteks ini, produktifitas karya jurnalistik menjadi tak begitu urgen. Salah-salah, wartawan yang produktif membuat karya jurnalistik justru dicap sebagai ‘wartawan liar' hanya karena mereka tak berkalung kartu pers.

Padahal, banyak di antara wartawan bodrek berkalung kartu pers yang sesungguhnya produktifitas karya jurnalistiknya masih layak dipertanyakan. Sebaliknya, mereka justru lebih memilih memanfaatkan kartu pers yang dikantonginya untuk kepentingan di luar tugas jurnalistik. Misalnya, kartu pers difungsikan sebagai kartu truf untuk melakukan tindak pemerasan dengan dalih memuat atau tidak memuat sebuah berita. Praktek kotor ala wartawan bodrek agaknya masih menjadi fenomena kelam dalam dunia pers nasional. Itulah sebabnya, kini media-media cetak maupun elektronik terang-terangan mengkomunikasikan ke khalayak bahwa wartawannya ‘diharamkan' menerima sesuatu pemberian dari nara sumber.

Tentu, persoalannya, terlalu naif jika nantinya institusi pers harus kehilangan kepercayaan publik hanya gara-gara merebaknya praktek-praktek kotor sebagaimana yang lazim dimainkan wartawan bodrek.

Citizen Journalist

Kini, jurnalisme era baru tiba. Berita di koran, majalah, radio, maupun televisi, tak lagi milik dan monopoli wartawan. Melalui citizen journalism (jurnalisme warga) yang menjadi genre baru dunia pers, siapapun bisa menjadi wartawan. Sekalipun tak berkalung kartu pers, pewarta warga ini mampu melakukan reportase, investigasi, menulis berita dan menerbitkannya melalui media-media berbasis citizen journalism.

Di dunia maya, citizen journalism sudah jauh berkembang sedemikian pesat. Banyak portal yang kini mengandalkan sajian tulisan, news dan foto-foto dari hasil reportase pewarta warga (citizen journalist).

Selain sebagai pensuplai tulisan, sekaligus, para pewarta warga ini juga berperan menjadi pembaca setia media-media berbasis citizen journalism itu.

Media berbasis warga yang dikelola secara profesional, kenyatannya juga tak kalah gengsi dengan ‘media konvensional' . Sebut saja, situs berbasis citizen journalism yang bermarkas di Seoul Korea Selatan, OhmyNews.com.

Dengan mengandalkan pewarta warga, situs ini telah berkembang pesat dengan 60.000 reporter warga yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Situs berita dan informasi ini dibaca tak kurang sekitar 750.000 pengguna setiap harinya (Pikiran Rakyat, 9/2/2007).

Di Indonesia, citizen journalism juga sudah bermunculan. Sebut saja, situs KabarIndonesia.com yang bermarkas di Netherland, Belanda. Dalam kurun waktu sekitar 15 bulan terakhir, situs yang popular dengan sebutan Harian Online KabarIndonesia (HOKI) itu telah mempunyai sekitar 3.000 reporter warga. Mereka itulah yang selama ini menjadi pensuplai tulisan sekaligus juga jadi pembacanya.

Yang menarik lagi, dalam penerbitan edisi cetak, koran-koran terkemuka nasional kini juga mulai merintis rubrik yang diperuntukkan bagi para citizen journalist. Itu artinya, keberadaan pewarta warga ke depan bisa bertambah menggurita. Nah, jika praktek citizen journalism sudah melembaga, jangan heran seandainya kelak banyak orang tak berkalung kartu pers, tapi mereka bisa menghasilkan karya-karya jurnalistik.

Ini akan berbanding terbalik dengan fenomena ‘wartawan bodrek' yang berkalung kartu pers, tapi mereka miskin karya jurnalistik.

Dalam catatan Nasihin Masha, citizen journalism lahir sebagai sebuah perlawanan. Yakni, perlawanan terhadap hegemoni dalam merumuskan dan memaknai kebenaran. Perlawanan terhadap dominasi informasi oleh elite masyarakat. Akhirnya, perlawanan terhadap tatanan peradaban yang makin impersonal (Republika, Rabu, 7/11/2007).

Tak salah memang. Sebab, media pers yang sering disebut-sebut sebagai pilar keempat demokrasi (fourth estate) setelah eksekutif, yudikatif dan legislatif, realitasnya kadang menampakkan wajah yang jauh dari publik yang jadi penopangnya. Ketika pers sudah melembaga di bawah naungan para pemilik modal, bukan tidak mungkin pers kehilangan ‘daya jotos' dalam menyuarakan aspirasi yang berpihak pada kepentingan publik.

Karena itulah, munculnya citizen journalism menjadi urgen untuk membangkitkan kembali ghiroh pers sebagai penyambung lidah publik yang kadang kerap menjadi korban hegemoni kekuasaan. Sebab, betapapun, merebaknya komunitas citizen journalism adalah sebuah fenomena yang tak bisa dipandang sebelah mata.


sumber HOKI kabarindonesia.com

kepak sayap burung tingang


Adalah sebuah perjalanan yang sangat berharga dan syarat pengalaman, saat aku dan teman-teman satu tim melakukan evaluasi sebuah proyek reboisasi yang dibiayai dana alokasi khusus (DAK), sebenarnya ini bukanlah tour ataupun perjalanan rekreasi namun kedua unsur itu terasa mewarnai perjalanan tersebut, saat kami menemui hal-hal yang menarik disepanjang perjalanan baik saat bertolak ataupun saat pulang dari lokasi kegiatan. Itu berlangsung ketika tim kami yang beranggotakan beberapa rekan dari Lembaga Swadaya Masyarakat dan wartawan mengevaluasi dan melakukan survei lapangan pada pelaksanaan proyek reboisasi 2008 tersebut yang konon menurut informasi banyak bermasalah di sebuah kecamatan di Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah yaitu kecamatan Mantangai dan secara geografis wilayahnya terbagi 3 (tiga) Mantangai Hulu, Tengah dan Hilir. Masyarakatnya hidup di sepanjang sungai yang membelah daerah itu dan hampir semua kegiatan dilakukan di sisi sungai seperti memantat/menyadap karet, mengan/berburu, marengge/menangkap ikan dan kegiatan lain industri bangsaw atau sirkel yang mana sekarang sudah banyak yang tidak beroperasi karna adanya penertiban. Dulunya kecamatan ini cukup kaya karna hasil hutannya belakangan daerah ini terkesan tertinggal dari kecamatan lainnya, salah satu penyebab banyak anggota masyarakat kehilangan mata pencaharian kegiatan industri pengolahan kayu atau bangsaw/sirkel karna sudah banyak yang tutup dan menyisakan masalah hilangnya lapangan pekerjaan.

Kami melakukan perjalanan lewat darat dengan menggunakan sepeda motor melewati beberapa perkampungan dan daerah hunian transmigrasi dimana sebahagian daerah ini juga merupakan eks lokasi lahan gambut atau yang disebut lahan sejuta hektare yang sudah banyak menimbulkan dan menyisakan permasalahan, meskipun infrastruktur jalan di daerah ini sudah banyak yang dibuka sehingga memudahkan akses transportasi darat, kami melakukan perjalanan estafet dengan menyinggahi beberapa lokasi yang kami anggap dapat memberikan masukan dan data yang kami butuhkan termasuk melakukan wawancara dengan beberapa masyarakat, kadang ada beberapa tempat yang cukup rawan dan medan yang sulit untuk dilalui kadang membuat kami sedikit takut dan khawatir kadang pula kami temui hal-hal yang menyenangkan seperti saat melihat kera-kera bergelantungan bermain di atas pepohonan, menyaksikan keindahan burung-burung tingang (bucerotidae) yang hinggap dan mengepakan sayapnya di dahan pohon yang tinggi saat mentari akan terbenam, burung tingang adalah jenis burung di Kalimantan Tengah yang memiliki keelokan dan keindahan dan jenis burung ini telah memberikan inspirasi pada hal-hal yang bersentuhan dengan seni dan budaya bagi masyarakat Kalimantan Tengah, secara ekologi burung ini juga membantu regenerasi hutan konon burung tingang menyebarkan biji, sungguh menyaksikan itu seperti menikmati puisi alam. Hal yang unik dan mengandung nilai historial ketika kami singgah di desa Keladan seberang di sana cukup banyak terdapat makam leluhur warisan kepercayaan asli suku dayak yakni Kaharingan, makam itu disebut sandung bentuknya seperti bangunan rumah yang cukup tinggi terletak tidak begitu jauh dari pemukiman warga di pinggiran sungai. Menyaksikan dan keluguan dan kepolosan masyarakat setempat yang jauh dari hiruk pikuk kehidupan kota, anak-anak yang bermain begitu merdekanya walau hanya dengan permainan tradisionil, ibu-ibu dan gadis-gadis cantik yang menganyam tikar rotan itulah pemandangan di sana.

Kami berhenti di beberapa lokasi sambil mengevaluasi hal-hal yang kami butuhkan sambil membuat catatan-catatan yang di anggap penting. Walau tidak semua tempat sempat kami kunjungi, kami bisa menarik kesimpulan betapa keluguan dan kepolosan masyarakat di sana yang sudah banyak dibodohi oknum-oknum yang hanya ingin mengeruk keuntungan materi, seperti halnya beberapa petani yang berhak dan ingin benar-benar melaksanakan kegiatan reboisasi dengan bantuan dana untuk bibit dari pemerintah malah banyak yang tidak mendapatkan, dan nama-nama yang terindikasi fiktif yang muncul dalam nama kelompok tani. Belum lagi adanya tumpang tindih lahan-lahan di daerah itu sungguh hal yang banyak merugikan warga setempat. Sampai hari ini aku masih menyimpan kesan yang dalam atas perjalanan yang sangat berharga ini, dalam hati kecil aku hanya berharap dan berdoa kelak Mantangai dan masyarakatnya bisa lebih maju dan hak-hak masyarakat dalam proses pembangunan benar-benar terpenuhi dan diwujudkan secara adil.-(zulkifli 2009)

INTERMEZO


Dunia wartawan adalah dunia 'orang-orang gila'. Kerja 24 jam dengan resiko tak bisa kaya (ada juga seeh.. yang jadi konglomerat). sebentar berangkat dengan orang berdahi atau dengan pejabatlah dan nginap di hotel mewah, pulangnya jadi pindang di kereta ekonomi atau bus taxi. kongkow-kongkow dengan pengusaha, lalu begadang mantau pengemis di kolong jembatan. mati-matian membela buruh, nasibnya sendiri tak bisa diperjuangkan. investigasi ke daerah pelosok yang sulit akses dan berbahaya salah sendiri, siapa suruh jadi wartawan??
banyak cerita konyol dalam keseharian wartawan, lebih lucu dibanding para pebanyol di TV atau badut-badut politik.....

Jurnalisme Online, Jurnalistik Internet


Definisi
Kehadiran media online memunculkan ”generasi baru” jurnalistik, yakni jurnalisme online (online journalism) –disebut juga cyber journalism.

Per definisi, jurnalisme online merupakan proses penyampaian informasi dengan menggunakan media internet (website). Kamus bebas Wikipedia mendefinisikan jurnalisme online sebagai ”pelaporan fakta yang diproduksi dan disebarkan melalui internet” (reporting of facts produced and distributed via the Internet).

Karakter
Karakter jurnalisme online –sebagaimana tergambar dalam karakter media online— antara lain kecepatan penyajian, real time --langsung dipublikasikan pada saat kejadian sedang berlangsung, interaktif, dan diperkaya dengan link atau tautan kepada informasi terkait.

Keunggulan jurnalisme online secara detail dikemukakan James C. Foust dalam bukunya, Online Journalism: Principles and Practices of News for The Web (2005):
1. Audience Control --audiens lebih leluasa dalam memilih berita.
2. Nonlienarity --tiap berita yang disampaikan dapat berdiri sendiri atau tidak berurutan.
3. Storage and retrieval --berita tersimpan dan diakses kembali dengan mudah.
4. Unlimited Space –memungkinkan jumlah berita jauh lebih lengkap ketimbang media lainnya.
5. Immediacy --cepat dan langsung.
6. Multimedia Capability –bisa menyertakan teks, suara, gambar, video dan komponen lainnya di dalam berita.
7. Interactivity --memungkinkan adanya peningkatan partisipasi pembaca.

Teknik Jurnalisme Online
Secara teknis, penulisan jurnalisme online sama saja dengan jurnalisme cetak. Demikian juga kaidah dan kode etik jurnalistiknya. Yang berbeda hanya soal cara penyajian atau proses publikasinya.

Proses penulisan berita, misalnya, diawali dengan pengumpulan data (e.q. wawancara, liputan peristiwa, studi literatur), penulisan, editing, dan publishing.

Proses penulisan artikel atau feature, diawali dengan ide, pengembangan ide/pengumpulan data, outline, naskah awal/kasar, editing/rewriting, dan publishing.

Jenis Tulisan
Jenis tulisan media online sama dengan jenis tulisan karya jurnalistik pada umumnya, yakni news, views, dan feature (paduan news & news).

1. News, Berita –laporan peristiwa, rekonstruksi kejadian, disusun dengan paduan unsur 5W+1H (What,Who, When, Where, Why, dan How) dan sistematika: Head/Judul, Lead/Alinea Pertama, Body/Isi Berita. [Rumus Standard Penulisan Berita: Who does What Where When Why How).
2. Views, Opini –tulisan berisikan opini, pendapat, atau analisis tentang suatu peristiwa atau masalah. Struktur penulisan: judul, penulis, opening, body, closing.
3. Feature –tulisan berisi paduan antara fakta dan opini. Struktur tulisan: judul, lead, body, closing. Masuk dalam kategori feature a.l. tips, biografi, pengalaman, ”curhat”, dan catatan perjalanan. (www.romeltea.com).*

Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/communication-media-studies/2059339-jurnalisme-online-jurnalistik-internet/#ixzz1O1qpqR6S