Sistem Birokrasi Rusak Picu Korupsi di Daerah



Delapan Persepsi Salah Tentang Wartawan


ADA banyak sekali persepsi yang keliru tentang wartawan. Persepsi ini tak cuma ada di sebagian masyarakat, tapi juga ada di kalangan wartawan sendiri terutama wartawan yang tak memperoleh pelatihan yang baik tentang profesinya. Berikut adalah delapan persepsi keliru tyang masih ada tentang sosok wartawan:


Wartawan adalah makhluk sakti yang bisa berbuat apa saja. Anggapan ini jelas keliru, sebab wartawan seperti masyarakat lainnya terikat oleh aturan-aturan negara dan agama serta norma-norma kemasyarakatan.

Wartawan adalah orang yang kebal hukum. Ini jelas keliru. Setiap warga negara sama kedudukannya di mata hukum. Terkait pekerjaannya, ada paling tidak 34 pasal yang dapat menjerat wartawan ke meja hijau.

Wartawan bisa menulis semaunya dan pasti dimuat. Ini juga keliru. Ada mekanisme yang harus dilalui sebelum tulisan wartawan dimuat di surat kabar. Mulai dari mekanisme pengujian kelayakan muat (akurasi data, bukan berita bohong, tidak menyerang pihak- pihak tertentu, tidak mengandung unsur SARA, keberimbangan, dll), pengeditan, dan sebagainya.

Wartawan adalah sosok urakan yang kerap mengabaikan etika. Dalam melaksanakan tugasnya, seorang wartawan harus memegang teguh etika, baik etika kemasyarakatan maupun etika profesi. Wartawan yang baik juga akan berpenampilan pantas saat melakukan tugasnya.

Wartawan adalah orang yang bisa masuk ke bioskop, makan di restoran, naik kereta api, naik bus, dan nonton konser tanpa bayar. Tentu saja anggapan ini sangat keliru. Untuk dapat menonton di bioskop, makan di restoran, naik kereta api, naik bus, dan nonton konser tentu harus membayar. Hanya pemilik, tamu undangan, dan perampok yang bisa melakukan hal-hal di atas tanpa mengeluarkan uang sepeserpun.

Wartawan adalah orang yang boleh melakukan wawancara dengan siapa saja. Ini juga pendapat yang keliru. Alasan bahwa masyarakat berhak atas sebuah informasi tidak bisa dijadikan dalil. Nara sumber berhak menolak saat wartawan hendak mewawancarainya.

Wartawan selalu benar. Wartawan juga manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Namun, wartawan yang baik akan senantiasa mengupayakan bahwa tulisanya bersih dari kesalahan, baik kesalahan logika, kesalahan informasi, kesalahan tata bahasa, maupun kesalahan pengejaan.

Wartawan adalah orang yang suka mengenakan rompi berkantung banyak dan membawa- bawa kamera ke sana kemari. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai wartawan, kamera dan rompi kantung banyak memang akan sangat membantu. Namun, tak semua yang mengenakan rompi berkantung banyak dan membawa-bawa kamera ke sana kemari adalah wartawan, dan tak semua wartawan harus melakukan itu jika kondisinya memang tak mengharuskan untuk itu.

Wartawan adalah orang yang boleh dengan seenaknya melewati tahapan birokrasi. Ini adalah juga pendapat yang keliru tentang wartawan. Meski dalam saat-saat tertentu beragam kemudahan kerap diperoleh wartawan dalam melaksanakan tugasnya, tak berarti wartawan bisa seenaknya melangkai birokrasi. Ada prosedur yang harus ditempuh. (arief permadi)

Standar Kompetensi Wartawan, Suatu Keharusan


Oleh Nurul Hayat
ANTARA
Pontianak, 14/5 (ANTARA) - "Masyarakat yang cerdas terbentuk dari wartawan yang cerdas. Wartawan akan cerdas jika standar kompetensi wartawan tercapai," kata Wakil Ketua Dewan Pers, Sabam Leo Batubara dalam diskusi "Standar Kompetensi Wartawan" di Pontianak, pada awal Mei lalu.

Kecerdasan wartawan dalam mengangkat persoalan atau informasi untuk disiarkan akan membantu menambah pengetahuan dan wawasannya, serta membuka pemahaman pembaca terhadap suatu permasalahan yang sedang terjadi, katanya.


Menurut dia, wartawan yang cerdas ada karena profesionalisme yang dibangun dengan baik, ditandai dengan kualitas atau mutu karya yang dihasilkan wartawan tersebut.


Namun, kondisi yang terjadi di Indonesia dewasa ini, kualitas wartawan dipertanyakan. Kualitas wartawan yang diukur melalui kompetensi dewasa ini tampak semakin terpinggirkan, karena turunnya reputasi dan harga diri mereka yang berkecimpung dalam profesi itu.

Kondisi ini, memerlukan perhatian serius banyak pihak.

Katanya, banyak kasus yang mengakibatkan reputasi dan harga diri wartawan rusak. Salah satunya, karena ulah segelintir oknum ataupun pihak yang mengatasnamakan wartawan atau jurnalis. Contoh kasusya, pemerasan dengan korban mulai dari masyarakat biasa hingga pejabat pemerintah.

Pelaku pemerasan, mengaku sebagai wartawan, berhasil mendapatkan uang dari korban-korban yang takut kesalahannya terbongkar dan diketahui masyarakat. Reputasi wartawan menjadi rusak. Karena para korban -- tentu saja tetap -- akan menuding wartawan sebagai pelaku pemerasan.

Terkait dengan kasus itu, ujarnya, kompetensi menjadi faktor penting yang harus dicapai seseorang yang berprofesi wartawan, sehingga terdapat pembeda antara wartawan asli dengan wartawan gadungan atau istilah populernya "bodrek".

"Wartawan yang sesungguhnya (diharapkan) bisa berpikir seribu kali jika hendak melakukan aksi serupa. Adanya kompetensi, juga menjadi pembeda dalam persoalan intelektualitas dan kualitas," katanya.

Sesungguhnya, apa yang dimaksud dengan kompetensi wartawan?

Menurut Ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Prof DR Moestopo, DR Gati Gayatri, yang dimaksud dengan "Kompetensi Wartawan" adalah kemampuan seorang wartawan melaksanakan kegiatan jurnalistik yang menunjukkan pengetahuan dan tanggung jawab sesuai tuntutan profesionalisme yang dipersyaratkan.

Kompetensi, menurut Dewan Pers dalam buku "Kompetensi Wartawan" adalah Pedoman Peningkatan Profesionalisme Wartawan dan Kinerja Pers. Hal ini mencakup beberapa aspek, yakni aspek penguasaan keterampilan, pengetahuan, dan kesadaran.

Ketiga aspek itu diperlukan dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Kesadaran mencakup di dalamnya, etika, hukum dan karir. Sementara pengetahuan meliputi pengetahuan umum, pengetahuan khusus dan pengetahuan teori jurnalistik dan komunikasi (sesuai bidang kewartawanan). Sedangkan keterampilan mencakup penguasaan menulis, wawancara, riset, investigasi, kemampuan penggunaan berbagai peralatan yang terkait dengan pekerjaan wartawan.

Pencapaian kompetensi

Upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk pencapaian kompetensi?

Upaya pencapaian standar kompetensi bagi wartawan tidak bisa dipisahkan dari keberadaan perusahaan pers.

Menurut Leo Batubara, perusahaan pers yang baik harus memenuhi standar profesional seperti memiliki kompetensi sebagai pebisnis media, mengoperasikan SDM yang memenuhi standar kompetensi, memiliki atau minimal mampu menyewa peralatan yang diperlukan dan memiliki modal yang cukup.

Namun, kenyataannya, dari 829 perusahaan pers yang ada saat ini, hanya 30 persen saja yang sehat bisnis. Selebihnya tidak sehat.

Negara juga punya tanggung jawab untuk standar kompetensi wartawan dengan mendirikan sekolah jurnalistik sebagai wadah pendidikan bagi wartawan, melakukan reformasi politik hukum negara yang mengkriminalisasi pers dan mengubah penyelenggaraan negara yang punya kecenderungan mengekang dan mengontrol pers.

Selain itu, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencapai standar kompetensi wartawan, seperti melalui pendidikan jurnalistik, pelatihan jurnalistik dan sistem pengembangan karir di mana wartawan memiliki level tertentu, meliputi yunior, madya, dan senior. Penentuan itu berdasarkan kemampuan, pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki.

Pada umumnya, wartawan yunior, madya, dan senior, bukanlah lulusan dari lembaga pendidikan tinggi khusus bidang tersebut. Hal ini tentu saja memperpanjang proses pencapaian kompetensi, bila dibandingkan mereka yang memang lulusan pendidikan (S1) jurnalistik, komunikasi atau publisistik.

Masalah tersebut meski masih dapat diatasi dengan adanya pelatihan jurnalistik yang disediakan oleh sejumlah lembaga pendidikan atau pun pengelola media massa, namun hal itu masih amat jarang ada.

Kebanyakan perusahaan media langsung melepas wartawan muda/yunior untuk terjun ke lapangan, tanpa terlebih dahulu dibekali dengan pemahaman akan ilmu dan pengetahuan bidang jurnalistik atau kewartawanan. Sehingga ketika menulis berita, ditemukan banyak kesalahan dan kekuranglengkapan informasi yang hendak disampaikan kepada publik.

Pendidikan dan pelatihan menjadi penting, sehingga karir jurnalistik bisa berkembang. Pendidikan dan pelatihan, menjadi syarat bagi seorang jurnalis jika ingin berkembang dan profesional dalam menjalankan pekerjaan. Seorang wartawan yang menjalankan tugas jurnalistik dengan profesional, akan dihargai di muka publik.

Pada akhirnya, seorang wartawan atau jurnalis, harus punya kemampuan dan kompetensi di dalam menjalankan profesinya. Tanpa itu semua, mustahil kemajuan di bidang jurnalistik bisa dicapai.

Sebaliknya, wartawan yang "bodoh", tidak saja akan "membodohi" pembacanya, tetapi juga akan memproklamirkan "kebodohannya" itu kepada publik melalui karyanya.***


sumber ; http://muhlissuhaeri.blogspot.com
Edisi Cetak ada di Borneo Tribune.

Beda Wartawan Koran Harian Dengan Majalah Atau Tabloid Bulanan



Apa sih beda bekerja sebagai wartawan di koran dan majalah mingguan? Pertanyaan sederhana ini sering ditanyakan mahasiswa yang berkunjung ke kantor media. Sebenarnya, baik yang bekerja di koran maupun di majalah, dua-duanya disebut wartawan, tapi ada beda cara kerjanya. Tentu perlu pula tips menulis berita yang tepat.

Koran terbit setiap hari, sementara majalah bekerja dalam kurun satu pekan. Kadang ada majalah dua mingguan, bulanan, bahkan ada yang terbit tiga bulan sekali. Karena sifat media yang berbeda, maka cara liputan dan penulisannya pun berbeda.

Supaya mudah dipahami, saya bikin dua kelompok penjelasan.

Wartawan harian:

1. Dia meliput di lapangan langsung ditulis dan selesai hari itu juga.

2. Tulisan di buat dengan piramida terbalik. Fakta yang penting ditulis di bagian atas, sedangkan yang paling tidak penting ditulis paling bawah. Cara itu berguna agar proses pemotongan naskah bisa cepat dilakukan oleh redaktur. Dengan piramida terbalik, wartawan terlatih untuk menentukan fakta yang paling menarik dan yang paling tidak menarik.

3. Jumlah karakter biasanya tidak sepanjang untuk majalah. Untuk koran, panjangnya sekitar 2.500 karakter. Untuk mengecek jumlah karakter, di Microsoft Word mudah dilakukan. Klik tools, lalu lihat word count. Berita di koran cukup pendek karena apa yang ditulis di koran umumnya merupakan berita straight news, berita yang melukiskan peristiwa.

4. Berita di koran tak terlalu mendalam seperti majalah. Tulisan di koran langsung membahas apa, di mana, kapan, siapa, mengapa (what, where, when, who, why –5W). Tambah satu lagi penjelasan mengenai bagaimana peristtiwa terjadi (how—1 H).

5. Saat ini wartawan harus bekerja cepat, mengingat persaingan yang ketat. Wartawan tak harus menulis di kantor. Ia bisa langsung menulis di lapangan dengan menggunakan peralatan komunikasi yang sudah canggih. Diperlukan pula kiat menulis yang cepat dan akurat, supaya beritanya tetap menarik.

Wartawan mingguan

1. Wartawan majalah biasanya menulis dengan perencanaan jauh lebih matang. Misalnya untuk majalah mingguan, berita direncanakan pada hari Senin. Rapat diikuti wartawan dan para redaktur. Masing-masing wartawan mengusulkan berita. Usulan yang diterima akan dicatat untuk dibuatkan penugasan.

2. Lembar penugasan akan diberikan kepada wartawan untuk dijalankan. Penugasan mempunyai deadline tertentu. Misalnya penugasan wawancara TKI yang disiksa, diberikan Senin sore, harus selesai Rabu pagi pekan itu juga.

3. Sesuai penugasan, wartawan akan mencari sumber yang harus diwawancarai. Jika sumber berita tak bisa diwawancarai karena suatu hal, sumber berita mungkin diganti atas petunjuk redaktur. Tapi tulisan akan batal diterbitkan jika sumber utama tak bisa diwawancarai. Karena itu warrtawan harus bekerja keras mencari sumber yang ditugaskan. Dia tak boleh mencari sumber semau sendiri.

4. Tulisan di majalah harus lebih mendalam daripada di koran. Meski menggunakan metoda yang sama yakni 5 W plus 1 H, tetapi penulisannya harus lebih mendalam dan menarik.

5. Jumlah karakter satu tulisan kadang cukup panjang. Satu halaman bisanya sekitar 4.000 karakter jika diberi 1 foto. Tapi jumlah karakter akan mengecil jika akan ditampilkan beberapa foto, atau satu foto besar. Bisa saja menulis hingga 20 ribu karakter untuk tulisan sekitar 8 halaman.

6. Tulisan tidak dibuat dengan piramida terbalik. Sebuah berita di majalah musti ditulis dengan menyebarkan fakta penting di berbagai tempat. Tapi dengan syarat: tulisan harus tetap menarik pembaca dalam setiap kalimatnya. Dengan demikian, pembaca bisa bertahan untuk menghabiskan bacaannya. Jadi pelajari tips menulis berita yang menarik agar pembaca tetap bertahan melototi halaman.

Sumber : http://www.trawang.com/
Dikutip dari Penulis : rihad wiranto
wartawan sejak 1990 di Warta Ekonomi, kemudian ke Tempo 1992 ke 1994, lalu ke Gatra 1994 ke 2006, kini di koran Jurnal Nasional.