Sistem Birokrasi Rusak Picu Korupsi di Daerah



http://www.lazada.co.id/

rrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrrr
http://www.lazada.co.id/

10 Bupati/Walikota Terbaik


Saya tertarik untuk memposting tulisan yang pernah dimuat salah satu media besar TEMPO jujur saja ini salah satu media yang saya kagumi sejak dulu, tak berapa lama lagi Dibeberapa Wilayah Daerah tingkat II di Kalimantan Tengah akan mengelar Pemilu Kepala Daerah, Khususnya Kabupaten Kapuas yang dalam waktu dekat akan melaksanakan pemilihan Bupati/wakilnya dan rasanya artikel yang pernah diterbitkan media yang digawangi Goenawan Muhammad ini masih relevan dengan moment pilkada yang akan digelar tersebut.

10 Tokoh 2008


TEMPO edisi 22 Desember 2008

Sebuah gagasan yang agak mustahil: mencari 10 bupati atau wali kota sebagai Tokoh Tempo 2008. Bukan karena majalah ini meragukan kecakapan pemimpin daerah. Soalnya, tak mudah memilih yang sedikit itu dari 472 kabupaten dan kota di seantero Tanah Air. Kesulitan datang ketika menetapkan kriteria. Kalau hanya melihat pendapatan asli daerah, sebagai misal, bukankah ini hanya menguntungkan kabupaten yang dari "sono"-nya memang kaya daerah yang mungkin diciptakan ketika Tuhan tersenyum, seloroh awak redaksi kami. Bupati berprestasi di daerah miskin pasti tak akan terpilih. Kalau memakai ukuran indeks pembangunan manusia saja, hasilnya akan bias karena ada bupati yang baru memimpin tiga tahun dan ada yang sudah hampir sepuluh tahun. Alhasil, tak mudah mencari sedikit "orang baik" itu.

Ketika riset awal selesai, kegamangan kami makin menjadi-jadi. Departemen Dalam Negeri mencatat, pada 2004-2006, keluar 67 izin pemeriksaan untuk bupati atau wakilnya. Sampai Maret 2007 sudah 61 kepala daerah menjadi terpidana. Seorang bupati masuk hotel prodeo. Berbagai anggapan miring tentang otonomi daerah seakan menemui pembenaran: desentralisasi korupsi, kontes yang memunculkan raja-raja kecil. Begitu burukkah?

Banyak tokoh lokal yang ternyata mampu melahirkan terobosan dan inovasi yang tak muncul pada masa kepala daerah "diterjunkan" dari atas. Mereka menolak fenomena klasik birokrasi, korupsi, inefisiensi, bekerja tanpa visi. Sepuluh orang ini menempatkan teladan dan kejujuran di urutan pertama. Mereka percaya, komunikasi yang intens merupakan kunci keberhasilan, bukan komunikasi yang instan. Mereka sabar mendengar rakyat, dan bekerja mencapainya.

Jusuf Serang Kasim, Wali Kota Tarakan, Kalimantan Timur

Jusuf yang Dokter ini ingin menyulap Tarakan dari kota sampah menjadi Singapura kecil dalam waktu sepuluh tahun. Dengan mengorbankan biaya pembangunan kantor wali kota buat membangun gedung sekolah yang baik, membentuk tim peningkatan mutu pendidikan, meningkatkan kemampuan para guru SD hingga memperoleh gelar sarjana, membangun pusat pelayanan terpadu yang dinamai ”Gadis”—akronim dari gabungan dinas.

Herry Zudianto, Wali Kota Yogyakarta

Memasang meteran di tiap tiang, sehingga setrum dibayar menurut pemakaian, tagihan pun bisa dipangkas hingga separuhnya. Herry memakai sisa duit untuk membeli lampu dan membuat tiang baru. Yogya pun terang, ramai, hidup hingga ke kampung-kampung—tak hanya di Malioboro. Ekonomi menggeliat. Apalagi setelah Herry mendirikan Dinas Perizinan dengan sistem online yang canggih. Ini satu-satunya dinas perizinan di Indonesia. Nilai investasi naik tiap tahun. Membuat program Sego Segawe atau naik sepeda ke sekolah dan tempat kerja, plus mewajibkan kantor-kantor menyediakan 10 persen lahan untuk taman dan pohon. Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto mendapat julukan ”Wagiman” alias wali kota gila taman. Tapi ia tak peduli. Ia terus berjalan, membeli lahan-lahan kosong hanya untuk taman. Yogya terasa segar, karena taman bertambah dari 9 menjadi 22 hektare.

David Bobihoe Akib, Bupati Gorontalo

David Bobihoe meruntuhkan pagar rumah dinasnya di Kota Limboto, ibu kota Kabupaten Gorontalo. Pos jaga ia ratakan dengan tanah. Tamu dari mana saja bebas duduk-duduk di teras rumah, tanpa terhadang aturan protokol ketat. Dia rajin berkeliling daerah, mendengar kemauan orang banyak. Ia sukses mengajak rakyat membangun, menanam jagung, dan mengekspor hasilnya.

Andi Hatta Marakarma, Bupati Luwu Timur

Nun jauh di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Bupati Andi Hatta Marakarma menghadapi daerah pemekaran dengan potensi bagus tapi miskin prasarana. Ia membangun desa, termasuk jalan, dan membiarkan kantornya sangat sederhana. Resepnya jitu. Ekonomi rakyat berkembang. ”Dulu ongkos angkut satu karung gabah Rp 9.000, sekarang hanya Rp 2.000,” kata salah seorang ketua kelompok tani di Luwu.

Suyanto, Bupati Jombang

Bupati Jombang Suyanto mengundang dokter-dokter spesialis berpraktek di puskesmas. Protes datang dari instansi kesehatan karena ia dinilai melecehkan dokter spesialis. Ia jalan terus dan sekarang puskesmas menyandang tingkatan ISO. Ia juga menggratiskan sekolah sampai sekolah lanjutan atas. ”Pemimpin itu tak perlu cerdas sekali. Yang penting lurus hati, mulai berpikir sampai berbuat,” ujar bupati yang mengaku hanya menghabiskan Rp 40 juta untuk pemilihan kepala daerah itu.

A.A GDE Agung, Bupati Badung

Bupati Badung, Bali, Anak Agung Gde Agung, punya masalah berat: ekonomi penduduk timpang. Di daerah selatan, Kuta dan sekitarnya, masyarakat makmur karena pariwisata. Tapi petani di utara miskin. Sekolah pertanian ia bangun. Agrobisnis dikembangkan. Ia berhasil. Badung sekarang sanggup menyumbangkan sebagian pendapatan untuk enam kabupaten lain di Bali.

Joko Widodo, Wali Kota Solo

Wali Kota Solo yang di daerahnya disapa Jokowi—mendemonstrasikan bagaimana memanusiakan warganya. Ketika harus memindahkan pedagang kaki lima, ia lebih dulu mengundang makan para pelaku sektor informal itu. Ia tak memilih jalan pintas: mengerahkan aparat atau membakar lokasi. ”Setelah makan, ya, saya suruh pulang lagi,” kata Jokowi. Setelah undangan makan yang ke-54, baru ia yakin pedagang siap dipindahkan. Acara pemindahan meriah, lengkap dengan arak-arakan yang diramaikan pasukan keraton. Para pedagang gembira ria, mereka menyediakan tumpeng sendiri.

Untung Sarono Wiyono Sukarno, Wali Kota Sragen

Seorang Untung Sarono Wiyono Sukarno dengan kegairahan luar biasa pada teknologi informasi menghubungkan semua desa di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, dengan jaringan Internet. Di tangan pengusaha minyak dan gas itu efisiensi pemerintahan meningkat pesat.

Ilham Arif Sirajuddin, Wali Kota Makassar

Bertahun-tahun Lapangan Karebosi di Makassar menjadi milik para waria pada malam hari. Kemudian datanglah wali kota baru, Ilham Arif Sirajuddin, 43 tahun, yang dengan berani mengubah lapangan itu. Ia yakin, warga Makassar perlu lebih banyak ruang terbuka. Ia dilawan, didemo, tapi ia tahu bahwa kepentingan publik nomor satu. Lapangan kumuh dan kerap direndam banjir itu akhirnya menjelma menjadi tempat yang megah tanpa kehilangan label sebagai tempat rendezvous penduduk.

Djarot Saiful Hidayat, Walikota Blitar

Djarot Saiful Hidayat memulai pekerjaan dengan mereformasi birokrasi yang tambun dan lamban. Dengan begitu, ”Anggaran belanja daerah pasti cukup, asal jangan dikorupsi,” kata penerima berbagai penghargaan di tingkat nasional ini. Ia tak mengganti mobil dinasnya, Toyota Crown tahun 1994, sejak hari pertama menjabat. ”Modal saya hati. Saya ingin warga Blitar maju dan sejahtera,” ujar Djarot, yang sudah dua periode menjabat.

semoga di Kalimantan Tengah calon Kepala Daerah yang terpilih kelak adalah pemimpin daerah yang benar benar komit dan efektif dan efisien seperti mereka…


Jurnalis Ditengah Kubangan Lumpur

Ditulis oleh Fa'Ik

Profesi jurnalis menjadi primadona di kalangan aktivis kampus. Bukan sekedar urusan networking yang akan semakin meluas saja, tapi juga menawarkan kebebasan. Karenanya wajar jika dunia jurnalis sering dianggap wilayah bebas ’agama’




Kalangan aktivis yang mendambakan idealismenya utuh, dapat menjalani hidup sebagai jurnalis. Terlebih bagi mereka yang tidak nyaman dengan waktu kerja yang tetap. Karena itu, profesi jurnalis menjanjikan memberikan kebahagiaan bagi mereka. Meskipun disadari pula, menjadi jurnalis sejati bukanlah pekerjaan mudah. Ada sembilan karakteristik yang harus dipenuhi. Setidaknya teori Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam bukunya The Elements of Journalism, menjadi rujukan bagi setiap penggiat media.



Pertama yang harus dimiliki adalah kebenaran. Meskipun kebenaran merupakan sesuatu yang relatif. Tapi tetap setiap insan humanis, standar kebenaran tidak akan jauh berbeda. Artinya, kebenaran yang digambarkan oleh Kovach ini adalah kebenaran universal dan dari sudut pandang yang tidak terikat. Dan untuk menjaga hal itu, maka loyalitas utama seorang jurnalis adalah pada masyarakat luas. Bukan pada sekelompok pejabat, suatu organisasi termasuk pada perusahaan media sekalipun. Tapi, mungkinkah hal ini dijalankan?



Elemen selanjutnya yaitu disiplin dalam melakukan verifikasi, independensi terhadap obyek liputannya,berlaku sebagai control of power. Lalu, jurnalisme juga harus dijadikan forum bagi publik untuk saling-kritik dan menemukan kompromi, membuat hal penting menjadi menarik dan relevan, media berita yang komprehensif dan proporsional dengan mendengarkan hati nuraninya sendiri.



Kini, masih adakah jurnalis yang berpegang teguh pada teori ini? Sulit sekali mencari orang-orang seperti itu saat ini. Jika sejarah mencatat Rosihan Anwar sebagai salah satu jurnalis beridealis. Maka adakah jurnalis-jurnalis muda saat ini menorehkan hal serupa.



Idealisme jurnalis telah terdagaikan dengan materi. Bahkan, tekanan-tekanan perusahaan media kepada ’buruh’ medianya, semakin memperparah kondisi ini. Idealisme telah menjadi barang langka yang lambat laun tertelan gelombang kehidupan. Posisi jurnalis bukan hanya ternoda dengan ’amplop-amplop’ yang berserakan di sekeliling mereka. Tapi juga ternista oleh prilaku perusahaan-perusahaan media yang hanya memikirkan keuntungan dan keuntungan. Sedangkan informasi yang menjadi hak rakyat terkebiri karenanya. Demi keuntungan iklan, perusahaan menekan jurnalis untuk menulis berita santun khusus pada pejabat/instansi tertentu. Lalu, masih bisa bertahankah idealisme seorang jurnalis ditengah rimba demikian.



Jika kondisi ini terjadi terus menerus, maka kaidah-kaidah karya jurnalis yang layak dipublikasikan akan menjadi teori kumal yang disingkirkan. Seperti telah diketahui bersama bahwa ada empat unsur yang harus diperhatikan para jurnalis dalam menyusun berita yaitu faktual/nyata. Data dan informasi yang disajikan terdiri dari kejadian yang nyata (real event), baik berupa pendapat (opinion) maupun pernyataan (statement) dari saksi, orang yang terlibat maupun sumber berita. Karena itu, merubah fakta adalah hal yang diharamkan dalam jurnalistik.



Selain faktual, karya jurnalistik juga harus aktual. Karena pristiwa yang telah terpubliksikan bukanlah berita. Maksudnya, jurnalis dituntut responsif terhadap kejadian apapun. Berita yang disajikan harus up to date dan mendekati waktu kejadiannya (real time). Terlebih lagi antara jurnalis terjadi persaingan dalam mencari dan menyusun berita. Terakhir, jurnalis harus pandai melihat suatu mana kejadian yang layak dipublikasikan dan mana yang tidak. Dan hal ini dapat dinilai dengan kemenarikan berita atau angel yang diambil jurnalis plus teknik menulis yang mumpuni. Karena berita yang baik adalah berita yang disusun dengan lugas ditambah dengan sense of humor, sehingga dapat membangkitkan human interest bagi pembacanya.



Kehidupan seorang jurnalis memang penuh tantangan. Meskipun penghasilan tidak begitu menjanjikan, tapi demi memperjuangkan masyarakat yang membutuhkan informasi, jalan terjalpun mereka lalui. Salah satu yang harus dihadapi jurnalis adalah situasi peperangan. Meskipun keselamatan mereka terancam, mereka tetap bergerak. Belum lagi dilema yang disebabkan oleh pilihan merekam kejadian atau menolong korban yang sekarat. Salah satu jurnalis senior Hendro Subroto (wartawan perang senior) menuturkan pengalamannya di konflik Timor Timur dahulu dalam “Eye Witness to Integration of East Timor”. Beliau memilih terus memfilmkan jalannya pertempuran, sambil berteriak-teriak meminta medik menolong tentara yang luka di dekatnya. Begitu juga dengan Jim Morrison dari majalah Rolling Stone yang merasakan hal sama di kancah Vietnam.



Sejarah juga mencatat jurnalis yang gugur dimedan pertempuran. Sebutlah nama-nama seperti David Pearl (terbunuh setelah lama diculik di Afghanistan), Robert Capa (terbunuh di Vietnam), Ersa Siregar (wartawan RCTI, terbunuh di Aceh), Ernie Pyle (terbunuh di Okinawa 1945), Larry Burrows (terbunuh di Vietnam) hingga 70 orang jurnalis yang terbunuh di Irak paska pendudukan AS, konon 70 orang lebih jurnalis sudah terbunuh (sumber dari internet)



Idealisme memang menjadi nilai sosial yang merajut semangat setiap insan. Pejuang-pejuang informasi, rela membagi sebagaian nyawanya untuk menampilkan karya jurnalis yang apik. Namun sayangnya, perjuangan mereka menjadi ternoda dengan prilaku beberapa jurnalis bodrek yang materialis. Idealisme jurnalistik Mereka dikalahkan oleh sebuah kekuasan yang bernama uang. Ditambah lagi dengan manajemen media yang mulai di rasuki oleh teori-teori marketing yang fokus untuk meraup keuntungan komersil. Sehingga, keputusan-keputusan manajemen media hanya berdasarkan sebuah keuangan semata. Sedangkan. idealisme jurnalistik diletakkan pada urutan paling bawah. Akhirnya, terjadilah dilema antara nilai etis antara tanggung jawab sosial dan tekanan ekonomi yang ada demi kelangsungan institusi media itu sendiri.



Jurnalis berlumpur. Itulah kata yang layak disandingkan bagi penggiat jurnalistik yang menggadaikan idealismenya demi materi. Memang tekanan ekonomi menjadi alasan utama para jurnalis untuk tergiur tawaran-tawaran berbau materi. Tapi, pantaskah menggadaikan informasi rakyat dengan segelintir rupiah? Lalu kemana masyarakat mencari kebenaran? Pastinya, masyarakat sangat berharap munculnya jurnalis-jurnalis yang memiliki idealisme, tak tergoda materi, dan fokus menghibahkan dirinya untuk rakyat. Kita juga memohon, perusahaan-perusahaan media tidak melulu memikirkan keuntungan semata dan menggadaikan keadilan masyarakat. Dan memang, jurnalis Indonesia tengah berada dikubangan lumpur. Hanya mereka yang melapisi kakinya dengan sepatu yang tak akan terjamah dengan itu.

sumber : http://www.seruit.com/

TJILIEK RIWUT MY HERO



Cilik Riwut [Tjiliek Riwut] dilahirkan di Kasongan, Kalimantan Tengah, 2 Februari 1918. Sekalipun ia lebih banyak berada di Pulau Jawa, namun Cilik Riwut selalu berjuang demi bangsa dan juga daerahnya. Untuk memajukan masyarakat daerahnya, ia pernah membentuk organisasi Pakat Dayak dan juga menjadi pemimpin redaksi Suara Rakyat yang didirikan kaum muda Dayak di tanah perantauan.

Ia berkiprah dalam dunia militer dengan bergabung dalam TKR Jawatan Penerbangan dan berpangkat mayor ketika Indonesia merdeka. Ia menggerakkan perlawanan terhadap Belanda di Kalimantan dan juga membentuk kekuatan bersenjata guna melawan Belanda dengan siasat perang gerilya. Ia pernah pula mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Kalimantan ketika Belanda melakukan agresi.

Nama Cilik Riwut tidak bisa dilepaskan dari peristiwa penerjunan pasukan TNI di Kotawaringin, Kalimantan Tengah bagian selatan, pada tanggal 17 Oktober 1947. Ketika itu ia ditunjuk sebagai ahli siasat serta penunjuk jalan bagi para penerjun.

Cilik Riwut menjabat Gubernur Kalimantan Tengah dalam 2 masa periode, yakni dari tahun 1957 hingga 1966. Ia berhasil membangun Kalimantan Tengah pada umumnya dan kota Palangkaraya pada khususnya. Kiprah perjuangannya setelah Indonesia merdeka terus berlanjut. Ia pernah ditunjuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan juga Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

Cilik Riwut wafat pada tanggal 17 Agustus 1987 di Palangkaraya. Karena jasa dan pengabdiannya yang luar biasa bagi TNI AU, ia dianugerahi pangkat Marsekal Pertama Kehormatan. Pemerintah Indonesia juga mengangkat Cilik Riwut sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1998.
Spoiler for Versi Wiki:
Tjilik Riwut (lahir di Kasongan, Katingan, Kalimantan Tengah, 2 Februari 1918 – meninggal di Rumah Sakit Suaka Insan, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 17 Agustus 1987 pada umur 69 tahun) adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia. Ia meninggal setelah dirawat di rumah sakit karena menderita penyakit lever/hepatitis dalam usia 69 Tahun, dimakamkan di makam Pahlawan Sanaman Lampang, Palangka Raya Kalimantan Tengah.Tjilik Riwut yang dengan bangga selalu menyatakan diri sebagai “orang hutan” karena lahir dan dibesarkan di belantara Kalimantan, adalah pencinta alam sejati juga sangat menjunjung tinggi budaya leluhurnya. Ketika masih belia ia telah tiga kali mengelilingi pulau Kalimantan hanya dengan berjalan kaki, naik perahu dan rakit.Tjilik Riwut adalah salah satu putera Dayak yang menjadi KNIP. Perjalanan dan perjuangannya kemudian melampau batas-batas kesukuan untuk menjadi salah satu pejuang bangsa. Penetapannya sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1998 merupakan wujud penghargaan atas perjuangan di masa kemerdekaan dan pengabdian membangun Kalimantan (Tengah).Setelah dari Pulau Jawa untuk menuntut ilmu, Tjilik Riwut diterjunkan ke Kalimantan sebagai pelaksana misi Pemerintah Republik Indonesia yang baru saja terbentuk, namun beliau tidak terjun. Nama-nama yang terjun merebut kalimantan adalah Harry Aryadi Sumantri, Iskandar, Sersan Mayor Kosasih, F. M. Suyoto, Bahrie, J. Bitak, C. Williem, Imanuel, Mika Amirudin, Ali Akbar, M. Dahlan, J. H. Darius, dan Marawi.Rombongan-rombongan ekspedisi ke Kalimantan dari Jawa yang kemudian membentuk barisan perjuangan di daerah yang sangat luas ini. Mereka menghubungi berbagai suku Dayak di berbagai pelosok Kalimantan untuk menyatukan persepsi rakyat yang sudah bosan hidup di alam penjajahan sehingga bersama-sama dapat menggalang persatuan dan kesatuan.

Selain itu, Tjilik Riwut berjasa memimpin Operasi Penerjunan Pasukan Payung Pertama dalam sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada tanggal 17 Oktober 1947 oleh pasukan MN 1001, yang ditetapkan sebagai Hari Pasukan Khas TNI-AU yang diperingati setiap 17 Oktober. Waktu itu Pemerintah RI masih di Yogyakarta dan pangkat Tjilik Riwut adalah Mayor TNI. Pangkat Terakhir Tjilik Riwut adalah Marsekal Pertama Kehormatan TNI-AU.

Tjilik Riwut adalah salah seorang yang cukup berjasa bagi masuknya pulau Kalimantan ke pangkuan Republik Indonesia. Sebagai seorang putera Dayak ia telah mewakili 142 suku Dayak pedalaman Kalimantan bersumpah setia kepada Pemerintah RI secara adat dihadapan Presiden Sukarno di Gedung Agung Yogyakarta, 17 Desember 1946.

Sebagai tentara, pengalaman perangnya meliputi sebagian besar pulau Kalimantan dan Jawa. Setelah perang usai, Tjilik Riwut aktif di pemerintahan. Dia pernah menjadi Gubernur Kalimantan Tengah, menjadi koordinator masyarakat suku-suku terasing untuk seluruh pedalaman Kalimantan, dan terakhir sebagi anggota DPR RI.

Keterampilan dalam menulis diasahnya semasa dia bergabung dengan Sanusi Pane di Harian Pembangunan. Tjilik Riwut telah menulis sejumlah buku mengenai Kalimantan: Makanan Dayak (1948), Sejarah Kalimantan (1952), Maneser Panatau Tatu Hiang (1965,stensilan, dalam bahasa Dayak Ngaju), Kalimantan Membangun (1979).

SUMBER : http://iwansuwandy.wordpress.com

PERS INDONESIA DARI ZAMAN KE ZAMAN



Pers Indonesia dari Zaman Hindia Belanda Sampai Masa Revolusi
”Medan Prijaji” Koran Politik Pribumi

Oleh : HARYADI SUADI

Orang tidak dapat membajangkan lagi sekarang, bagaimana sekiranja hidup kita ini, bilamana tidak ada surat kabar. (Parada Harahap “Kedudukan Pers Di Masjarakat” 1951)

BERBICARA perihal dunia pers di Indonesia, tentunya tidak bisa dipisahkan dari hadirnya bangsa Barat di tanah air kita. Memang tidak bisa dimungkiri, bahwa orang Eropa lah, khususnya bangsa Belanda, yang telah “berjasa” memelopori hadirnya dunia pers serta persuratkabaran di Indonesia. Masalahnya sebelum kehadiran mereka, tidak diberitakan adanya media masa yang dibuat oleh bangsa pribumi.

Tentang awal mula dimulainya dunia persuratkabaran di tanah air kita ini, Dr. De Haan dalam bukunya, “Oud Batavia” (G. Kolf Batavia 1923), mengungkap secara sekilas bahwa sejak abad 17 di Batavia sudah terbit sejumlah berkala dan surat kabar. Dikatakannya, bahwa pada tahun 1676 di Batavia telah terbit sebuah berkala bernama Kort Bericht Eropa (berita singkat dari Eropa). Berkala yang memuat berbagai berita dari Polandia, Prancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Inggris, dan Denmark ini, dicetak di Batavia oleh Abraham Van den Eede tahun 1676. Setelah itu terbit pula Bataviase Nouvelles pada bulan Oktober 1744, Vendu Nieuws pada tanggal 23 Mei 1780, sedangkan Bataviasche Koloniale Courant tercatat sebagai surat kabar pertama yang terbit di Batavia tahun 1810.

Sejak abad 17 dunia pers di Eropa memang sudah mulai dirintis. Sekalipun masih sangat sederhana, baik penampilan maupun mutu pemberitaannya, surat kabar dan majalah sudah merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat di masa itu. Bahkan, para pengusaha di masa itu telah meramalkan bahwa dunia pers di masa mendatang merupakan lahan bisnis yang menjanjikan. Oleh karena itu, tidak heran apabila para pengusaha persuratkabaran serta para kuli tinta asal Belanda sejak masa awal pemerintahan VOC, sudah berani membuka usaha dalam bidang penerbitan berkala dan surat kabar di Batavia.

Kendati demikian, tujuan mereka bukan cuma sekadar untuk memperoleh keuntungan uang. Namun, mereka telah menyadari bahwa media masa di samping sebagai alat penyampai berita kepada para pembacanya dan menambah pengetahuan, juga punya peran penting dalam menyuarakan isi hati pemerintah, kelompok tertentu, dan rakyat pada umumnya. Apalagi, orang Belanda yang selalu mengutamakan betapa pentingnya arti dokumentasi, segala hal ihwal dan kabar berita yang terjadi di negeri leluhurnya maupun di negeri jajahannya, selalu disimpan untuk berbagai keperluan.

Dengan kata lain media masa di masa itu telah dipandang sebagai alat pencatat atau pendokumentasian segala peristiwa yang terjadi di negeri kita yang amat perlu diketahui oleh pemerintah pusat di Nederland maupun di Nederlandsch Indie serta orang-orang Belanda pada umumnya. Dan apabila kita membuka kembali arsip majalah dan persuratkabaran yang terbit di Indonesia antara awal abad 20 sampai masuknya Tentara Jepang, bisa kita diketahui bahwa betapa cermatnya orang Belanda dalam pendokumentasian ini.

Dalam majalah Indie, Nedelandch Indie Oud en Nieuw, Kromo Blanda, Djawa, berbagai Verslagen (Laporan) dan masih banyak lagi, telah memuat aneka berita dari mulai politik, ekonomi, sosial, sejarah, kebudayaan, seni tradisional (musik, seni rupa, sastra, bangunan, percandian, dan lain-lain) serta seribu satu macam peristiwa penting lainnya yang terjadi di negeri kita.

Tirtoadisuryo pelopor bebas buka suara

Sampai akhir abad ke-19, koran atau berkala yang terbit di Batavia hanya memakai bahasa Belanda. Dan para pembacanya tentu saja masyarakat yang mengerti bahasa tersebut. Karena surat kabar di masa itu diatur oleh pihak Binnenland Bestuur (penguasa dalam negeri), kabar beritanya boleh dikata kurang seru dan “kering”. Yang diberitakan cuma hal-hal yang biasa dan ringan, dari aktivitas pemerintah yang monoton, kehidupan para raja, dan sultan di Jawa, sampai berita ekonomi dan kriminal.

Namun memasuki abad 20, tepatnya di tahun 1903, koran mulai menghangat. Masalahnya soal politik dan perbedaan paham antara pemerintah dan masyarakat mulai diberitakan. Parada Harahap, tokoh pers terkemuka, dalam bukunya “Kedudukan Pers Dalam Masjarakat” (1951) menulis, bahwa zaman menghangatnya koran ini, akibat dari adanya dicentralisatie wetgeving (aturan yang dipusatkan). Akibatnya beberapa kota besar di kawasan Hindia Belanda menjadi kota yang berpemerintahan otonom sehingga ada para petinggi pemerintah, yang dijamin oleh hak onschenbaarheid (tidak bisa dituntut), berani mengkritik dan mengoreksi kebijakan atasannya.

Kritik semacam itu biasanya dilontarkan pada sidang-sidang umum yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau daerah. Kritik dan koreksi ini kemudian dimuat di berbagai surat kabar dalam ruangan Verslaag (Laporan) agar diketahui masyarakat. Berita-berita Verslaag ini tentu saja menjadi “santapan empuk” bagi para wartawan. Berita itu kemudian telah mereka bumbui dan didramatisasi sedemikian rupa sehingga jadilah suatu berita sensasi yang menggegerkan. Namun, cara membumbui berita Verslaag semacam ini, lama-kelamaan menjadi hal biasa. Bahkan, cara-cara demikian akhirnya disukai oleh para pengelolanya karena bisa mendatangkan keuntungan dan berita sensasi memang disukai pembacanya.

Para petinggi pemerintah yang kena kritik juga tidak merasa jatuh martabatnya. Bahkan, ada yang mengubah sikapnya dan membuat kebijaksanaan baru yang menguntungkan penduduk. Keberanian menyatakan saran dan kritik ini akhirnya menular ke masyarakat. Tidak sedikit koran yang menyajikan ruangan surat pembaca yang menampung “curhat” tentang berbagai hal dari para pembacanya. Bahkan, setelah dibentuknya Volksraad (DPR buatan Belanda) pada tahun 1916, kritik yang menyerempet soal politik mulai marak.

Dunia pers semakin menghangat ketika terbitnya “Medan Prijaji” pada tahun 1903, sebuah surat kabar pertama yang dikelola kaum pribumi. Munculnya surat kabar ini bisa dikatakan merupakan masa permulaan bangsa kita terjun dalam dunia pers yang berbau politik. Pemerintah Belanda menyebutnya Inheemsche Pers (Pers Bumiputra). Pemimpin redaksinya yakni R. M. Tirtoadisuryo yang dijuluki Nestor Jurnalistik ini menyadari bahwa surat kabar adalah alat penting untuk menyuarakan aspirasi masyarakat. Dia boleh dikata merupakan bangsa kita yang memelopori kebebasan

Pers kaum pribumi

Sikapnya ini telah memengaruhi surat kabar bangsa pribumi yang terbit sesudah itu. Hal ini terbukti dari keberanian dia menulis kalimat yang tertera di bawah judul koran tersebut, Orgaan bagi bangsa jang terperintah di Hindia Olanda tempat membuka suaranja. Kata terperintah di atas konon telah membuka mata masyarakat, bahwa bangsa pribumi adalah bangsa yang dijajah. Boleh jadi Tuan Tirto terinspirasi oleh kebebasan berbicara para pembesar pemerintah tersebut di atas. Rupanya dia berpendapat, bahwa yang bebas buka suara bukan beliau-beliau saja, namun juga rakyat jelata alias kaum pribumi.

Hadirnya Medan Prujaji telah disambut hangat oleh bangsa kita, terutama kaum pergerakan yang mendambakan kebebasan mengeluarkan pendapat. Buktinya tidak lama kemudian Tjokroaminoto dari “Sarikat Islam” telah menerbitkan harian Oetoesan Hindia. Nama Samaun (golongan kiri) muncul dengan korannya yang namanya cukup revolusioner yakni Api, Halilintar dan Nyala. Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara juga telah mengeluarkan koran dengan nama yang tidak kalah galaknya, yakni Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak. Sementara itu di Padangsidempuan, Parada Harahap membuat harian Benih Merdeka dan Sinar Merdeka pada tahun 1918 dan 1922. Dan, Bung Karno pun tidak ketinggalan pula telah memimpin harian Suara Rakyat Indonesia dan Sinar Merdeka di tahun 1926. Tercatat pula nama harian Sinar Hindia yang kemudian diganti menjadi Sinar Indonesia.***

Penulis dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (Instititut Teknologi Bandung) .
diposkan kembali oleh thezulkiflimedia.blogspot.com