Sistem Birokrasi Rusak Picu Korupsi di Daerah



Jurnalis Ditengah Kubangan Lumpur

Ditulis oleh Fa'Ik

Profesi jurnalis menjadi primadona di kalangan aktivis kampus. Bukan sekedar urusan networking yang akan semakin meluas saja, tapi juga menawarkan kebebasan. Karenanya wajar jika dunia jurnalis sering dianggap wilayah bebas ’agama’




Kalangan aktivis yang mendambakan idealismenya utuh, dapat menjalani hidup sebagai jurnalis. Terlebih bagi mereka yang tidak nyaman dengan waktu kerja yang tetap. Karena itu, profesi jurnalis menjanjikan memberikan kebahagiaan bagi mereka. Meskipun disadari pula, menjadi jurnalis sejati bukanlah pekerjaan mudah. Ada sembilan karakteristik yang harus dipenuhi. Setidaknya teori Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam bukunya The Elements of Journalism, menjadi rujukan bagi setiap penggiat media.



Pertama yang harus dimiliki adalah kebenaran. Meskipun kebenaran merupakan sesuatu yang relatif. Tapi tetap setiap insan humanis, standar kebenaran tidak akan jauh berbeda. Artinya, kebenaran yang digambarkan oleh Kovach ini adalah kebenaran universal dan dari sudut pandang yang tidak terikat. Dan untuk menjaga hal itu, maka loyalitas utama seorang jurnalis adalah pada masyarakat luas. Bukan pada sekelompok pejabat, suatu organisasi termasuk pada perusahaan media sekalipun. Tapi, mungkinkah hal ini dijalankan?



Elemen selanjutnya yaitu disiplin dalam melakukan verifikasi, independensi terhadap obyek liputannya,berlaku sebagai control of power. Lalu, jurnalisme juga harus dijadikan forum bagi publik untuk saling-kritik dan menemukan kompromi, membuat hal penting menjadi menarik dan relevan, media berita yang komprehensif dan proporsional dengan mendengarkan hati nuraninya sendiri.



Kini, masih adakah jurnalis yang berpegang teguh pada teori ini? Sulit sekali mencari orang-orang seperti itu saat ini. Jika sejarah mencatat Rosihan Anwar sebagai salah satu jurnalis beridealis. Maka adakah jurnalis-jurnalis muda saat ini menorehkan hal serupa.



Idealisme jurnalis telah terdagaikan dengan materi. Bahkan, tekanan-tekanan perusahaan media kepada ’buruh’ medianya, semakin memperparah kondisi ini. Idealisme telah menjadi barang langka yang lambat laun tertelan gelombang kehidupan. Posisi jurnalis bukan hanya ternoda dengan ’amplop-amplop’ yang berserakan di sekeliling mereka. Tapi juga ternista oleh prilaku perusahaan-perusahaan media yang hanya memikirkan keuntungan dan keuntungan. Sedangkan informasi yang menjadi hak rakyat terkebiri karenanya. Demi keuntungan iklan, perusahaan menekan jurnalis untuk menulis berita santun khusus pada pejabat/instansi tertentu. Lalu, masih bisa bertahankah idealisme seorang jurnalis ditengah rimba demikian.



Jika kondisi ini terjadi terus menerus, maka kaidah-kaidah karya jurnalis yang layak dipublikasikan akan menjadi teori kumal yang disingkirkan. Seperti telah diketahui bersama bahwa ada empat unsur yang harus diperhatikan para jurnalis dalam menyusun berita yaitu faktual/nyata. Data dan informasi yang disajikan terdiri dari kejadian yang nyata (real event), baik berupa pendapat (opinion) maupun pernyataan (statement) dari saksi, orang yang terlibat maupun sumber berita. Karena itu, merubah fakta adalah hal yang diharamkan dalam jurnalistik.



Selain faktual, karya jurnalistik juga harus aktual. Karena pristiwa yang telah terpubliksikan bukanlah berita. Maksudnya, jurnalis dituntut responsif terhadap kejadian apapun. Berita yang disajikan harus up to date dan mendekati waktu kejadiannya (real time). Terlebih lagi antara jurnalis terjadi persaingan dalam mencari dan menyusun berita. Terakhir, jurnalis harus pandai melihat suatu mana kejadian yang layak dipublikasikan dan mana yang tidak. Dan hal ini dapat dinilai dengan kemenarikan berita atau angel yang diambil jurnalis plus teknik menulis yang mumpuni. Karena berita yang baik adalah berita yang disusun dengan lugas ditambah dengan sense of humor, sehingga dapat membangkitkan human interest bagi pembacanya.



Kehidupan seorang jurnalis memang penuh tantangan. Meskipun penghasilan tidak begitu menjanjikan, tapi demi memperjuangkan masyarakat yang membutuhkan informasi, jalan terjalpun mereka lalui. Salah satu yang harus dihadapi jurnalis adalah situasi peperangan. Meskipun keselamatan mereka terancam, mereka tetap bergerak. Belum lagi dilema yang disebabkan oleh pilihan merekam kejadian atau menolong korban yang sekarat. Salah satu jurnalis senior Hendro Subroto (wartawan perang senior) menuturkan pengalamannya di konflik Timor Timur dahulu dalam “Eye Witness to Integration of East Timor”. Beliau memilih terus memfilmkan jalannya pertempuran, sambil berteriak-teriak meminta medik menolong tentara yang luka di dekatnya. Begitu juga dengan Jim Morrison dari majalah Rolling Stone yang merasakan hal sama di kancah Vietnam.



Sejarah juga mencatat jurnalis yang gugur dimedan pertempuran. Sebutlah nama-nama seperti David Pearl (terbunuh setelah lama diculik di Afghanistan), Robert Capa (terbunuh di Vietnam), Ersa Siregar (wartawan RCTI, terbunuh di Aceh), Ernie Pyle (terbunuh di Okinawa 1945), Larry Burrows (terbunuh di Vietnam) hingga 70 orang jurnalis yang terbunuh di Irak paska pendudukan AS, konon 70 orang lebih jurnalis sudah terbunuh (sumber dari internet)



Idealisme memang menjadi nilai sosial yang merajut semangat setiap insan. Pejuang-pejuang informasi, rela membagi sebagaian nyawanya untuk menampilkan karya jurnalis yang apik. Namun sayangnya, perjuangan mereka menjadi ternoda dengan prilaku beberapa jurnalis bodrek yang materialis. Idealisme jurnalistik Mereka dikalahkan oleh sebuah kekuasan yang bernama uang. Ditambah lagi dengan manajemen media yang mulai di rasuki oleh teori-teori marketing yang fokus untuk meraup keuntungan komersil. Sehingga, keputusan-keputusan manajemen media hanya berdasarkan sebuah keuangan semata. Sedangkan. idealisme jurnalistik diletakkan pada urutan paling bawah. Akhirnya, terjadilah dilema antara nilai etis antara tanggung jawab sosial dan tekanan ekonomi yang ada demi kelangsungan institusi media itu sendiri.



Jurnalis berlumpur. Itulah kata yang layak disandingkan bagi penggiat jurnalistik yang menggadaikan idealismenya demi materi. Memang tekanan ekonomi menjadi alasan utama para jurnalis untuk tergiur tawaran-tawaran berbau materi. Tapi, pantaskah menggadaikan informasi rakyat dengan segelintir rupiah? Lalu kemana masyarakat mencari kebenaran? Pastinya, masyarakat sangat berharap munculnya jurnalis-jurnalis yang memiliki idealisme, tak tergoda materi, dan fokus menghibahkan dirinya untuk rakyat. Kita juga memohon, perusahaan-perusahaan media tidak melulu memikirkan keuntungan semata dan menggadaikan keadilan masyarakat. Dan memang, jurnalis Indonesia tengah berada dikubangan lumpur. Hanya mereka yang melapisi kakinya dengan sepatu yang tak akan terjamah dengan itu.

sumber : http://www.seruit.com/

TJILIEK RIWUT MY HERO



Cilik Riwut [Tjiliek Riwut] dilahirkan di Kasongan, Kalimantan Tengah, 2 Februari 1918. Sekalipun ia lebih banyak berada di Pulau Jawa, namun Cilik Riwut selalu berjuang demi bangsa dan juga daerahnya. Untuk memajukan masyarakat daerahnya, ia pernah membentuk organisasi Pakat Dayak dan juga menjadi pemimpin redaksi Suara Rakyat yang didirikan kaum muda Dayak di tanah perantauan.

Ia berkiprah dalam dunia militer dengan bergabung dalam TKR Jawatan Penerbangan dan berpangkat mayor ketika Indonesia merdeka. Ia menggerakkan perlawanan terhadap Belanda di Kalimantan dan juga membentuk kekuatan bersenjata guna melawan Belanda dengan siasat perang gerilya. Ia pernah pula mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Kalimantan ketika Belanda melakukan agresi.

Nama Cilik Riwut tidak bisa dilepaskan dari peristiwa penerjunan pasukan TNI di Kotawaringin, Kalimantan Tengah bagian selatan, pada tanggal 17 Oktober 1947. Ketika itu ia ditunjuk sebagai ahli siasat serta penunjuk jalan bagi para penerjun.

Cilik Riwut menjabat Gubernur Kalimantan Tengah dalam 2 masa periode, yakni dari tahun 1957 hingga 1966. Ia berhasil membangun Kalimantan Tengah pada umumnya dan kota Palangkaraya pada khususnya. Kiprah perjuangannya setelah Indonesia merdeka terus berlanjut. Ia pernah ditunjuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan juga Dewan Pertimbangan Agung (DPA).

Cilik Riwut wafat pada tanggal 17 Agustus 1987 di Palangkaraya. Karena jasa dan pengabdiannya yang luar biasa bagi TNI AU, ia dianugerahi pangkat Marsekal Pertama Kehormatan. Pemerintah Indonesia juga mengangkat Cilik Riwut sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1998.
Spoiler for Versi Wiki:
Tjilik Riwut (lahir di Kasongan, Katingan, Kalimantan Tengah, 2 Februari 1918 – meninggal di Rumah Sakit Suaka Insan, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 17 Agustus 1987 pada umur 69 tahun) adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia. Ia meninggal setelah dirawat di rumah sakit karena menderita penyakit lever/hepatitis dalam usia 69 Tahun, dimakamkan di makam Pahlawan Sanaman Lampang, Palangka Raya Kalimantan Tengah.Tjilik Riwut yang dengan bangga selalu menyatakan diri sebagai “orang hutan” karena lahir dan dibesarkan di belantara Kalimantan, adalah pencinta alam sejati juga sangat menjunjung tinggi budaya leluhurnya. Ketika masih belia ia telah tiga kali mengelilingi pulau Kalimantan hanya dengan berjalan kaki, naik perahu dan rakit.Tjilik Riwut adalah salah satu putera Dayak yang menjadi KNIP. Perjalanan dan perjuangannya kemudian melampau batas-batas kesukuan untuk menjadi salah satu pejuang bangsa. Penetapannya sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 1998 merupakan wujud penghargaan atas perjuangan di masa kemerdekaan dan pengabdian membangun Kalimantan (Tengah).Setelah dari Pulau Jawa untuk menuntut ilmu, Tjilik Riwut diterjunkan ke Kalimantan sebagai pelaksana misi Pemerintah Republik Indonesia yang baru saja terbentuk, namun beliau tidak terjun. Nama-nama yang terjun merebut kalimantan adalah Harry Aryadi Sumantri, Iskandar, Sersan Mayor Kosasih, F. M. Suyoto, Bahrie, J. Bitak, C. Williem, Imanuel, Mika Amirudin, Ali Akbar, M. Dahlan, J. H. Darius, dan Marawi.Rombongan-rombongan ekspedisi ke Kalimantan dari Jawa yang kemudian membentuk barisan perjuangan di daerah yang sangat luas ini. Mereka menghubungi berbagai suku Dayak di berbagai pelosok Kalimantan untuk menyatukan persepsi rakyat yang sudah bosan hidup di alam penjajahan sehingga bersama-sama dapat menggalang persatuan dan kesatuan.

Selain itu, Tjilik Riwut berjasa memimpin Operasi Penerjunan Pasukan Payung Pertama dalam sejarah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia pada tanggal 17 Oktober 1947 oleh pasukan MN 1001, yang ditetapkan sebagai Hari Pasukan Khas TNI-AU yang diperingati setiap 17 Oktober. Waktu itu Pemerintah RI masih di Yogyakarta dan pangkat Tjilik Riwut adalah Mayor TNI. Pangkat Terakhir Tjilik Riwut adalah Marsekal Pertama Kehormatan TNI-AU.

Tjilik Riwut adalah salah seorang yang cukup berjasa bagi masuknya pulau Kalimantan ke pangkuan Republik Indonesia. Sebagai seorang putera Dayak ia telah mewakili 142 suku Dayak pedalaman Kalimantan bersumpah setia kepada Pemerintah RI secara adat dihadapan Presiden Sukarno di Gedung Agung Yogyakarta, 17 Desember 1946.

Sebagai tentara, pengalaman perangnya meliputi sebagian besar pulau Kalimantan dan Jawa. Setelah perang usai, Tjilik Riwut aktif di pemerintahan. Dia pernah menjadi Gubernur Kalimantan Tengah, menjadi koordinator masyarakat suku-suku terasing untuk seluruh pedalaman Kalimantan, dan terakhir sebagi anggota DPR RI.

Keterampilan dalam menulis diasahnya semasa dia bergabung dengan Sanusi Pane di Harian Pembangunan. Tjilik Riwut telah menulis sejumlah buku mengenai Kalimantan: Makanan Dayak (1948), Sejarah Kalimantan (1952), Maneser Panatau Tatu Hiang (1965,stensilan, dalam bahasa Dayak Ngaju), Kalimantan Membangun (1979).

SUMBER : http://iwansuwandy.wordpress.com