Sistem Birokrasi Rusak Picu Korupsi di Daerah



Wartawan Bodrek vs Citizen Journalist


Oleh : Muhibuddin

Begitu mudahnya sekarang menjadi wartawan. Asal ada kemauan, saat itu juga bisa menyandang profesi wartawan. Apalagi, jika punya kesanggupan berburu berita yang bisa memasok ‘gizi' ke media yang menaunginya. Tak usah menunggu waktu, orang awam pun segera dibikinkan kartu pers untuk modal peliputan berita. Simpel sekali prosedurnya, bukan?

Tapi, tunggu dulu. Tak sembarang media pers segampang itu merekrut wartawan. Media-media besar dan mapan, umumnya sudah menerapkan standar profesional dalam rekruitmen wartawan. Bahkan dalam komunitas media pers kategori ini, untuk menjadi wartawan profesional prosedurnya justru tak kalah ketat dengan seleksi anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), misalnya.

Dari gambaran di atas, bisa dimaklumi kalau kemudian dalam dunia pers muncul perbedaan wartawan ke dalam tipologi ‘wartawan beneran' dan ‘wartawan bodrek'. Yang disebut terakhir, tak lain adalah orang-orang yang masuk ke habitat pers tapi sepak terjang jurnalistiknya justru banyak mencemari dunia pers itu sendiri.

Jurnalisme Kartu Pers

Keberadaan wartawan bodrek memang tak bisa dipandang sebelah mata. Sebab, faktanya, mereka juga berkalung kartu pers sebagai bukti fisik identitas diri seorang wartawan. Soal, apakah mereka produktif dalam menghasilkan karya jurnalistik atau tidak, itu menjadi urusan lain. Karena itulah, dari perspektif ini, rasanya sulit mencari alasan untuk tidak mengkategorikan mereka ke dalam komunitas wartawan.

Bondan Winarno pernah mengatakan, dari segi penampilan, tidak ada perbedaan nyata antara wartawan bodrek dengan wartawan beneran. Sebagai wartawan, wawasan mereka memang dangkal, karena tujuan utamanya memang semata bukan untuk kepentingan jurnalistik. Tetapi, tidak jarang dari mereka punya daya intuisi dan investigasi yang tajam (Republika, Minggu 22/5/2005).

Dalam menjalankan misi jurnalistiknya, wartawan bodrek biasanya berlindung di balik kartu pers resmi dari medianya maupun dari beragam organisasi profesi kewartawanan. Karenanya, mereka akhirnya lebih mengedepankan ideologi ‘jurnalisme kartu pers' ketimbang mengaktualisaikan jargon-jargon ideal jurnalism yang menjadi ruh dari media pers.

Di panggung pers nasional, ironi wartawan bodrek sebenarnya bukan cerita baru. Bukankah dari dulu sudah muncul sindiran adanya wartawan tanpa surat kabar (WTS) yang ulahnya seringkali mencemari intitusi pers? Hanya saja, kalau kini keberadaan wartawan bodrek kian menuai sorotan, itu barangkali karena jumlah ‘pasukan' mereka memang kian menjamur.

Diakui atau tidak, wartawan bodrek semakin bertambah subur seiring bergulirnya liberalisasi pers pasca reformasi 1998. Sejak itu, kontrol birokrasi terhadap keberadaan media pers begitu longgar. Dengan demikian, sebuah media pers bisa meluncur begitu saja tanpa harus lewat prosedur yang rumit. Berbarengan dengan itu, siapa pun seolah juga bisa masuk dalam komunitas pers. Siapa pun juga bisa membikin media sekalipun tanpa ditopang sumber dana dan sumberdaya manusia yang punya concern terhadap idealisme pers.

Konsekuensinya, bermunculanlah ‘wartawan karbitan' yang kinerja jurnalistiknya kadang jauh dari cita-cita ideal pers itu sendiri. Jangan heran kalau kemudian muncul media pers yang merekrut jajaran redaksi hingga wartawan secara serampangan. Kartu pers yang seharusnya diterbitkan secara ketat dan selektif, akhirnya ‘diobral' untuk membekali ‘pasukan' yang melakukan tugas jurnalistik di lapangan.

Jadilah, kartu pers menjadi segala-galanya. Status profesi wartawan, akhirnya cukup dilihat dan diukur dari parameter kepemilikan kartu pers. Dalam konteks ini, produktifitas karya jurnalistik menjadi tak begitu urgen. Salah-salah, wartawan yang produktif membuat karya jurnalistik justru dicap sebagai ‘wartawan liar' hanya karena mereka tak berkalung kartu pers.

Padahal, banyak di antara wartawan bodrek berkalung kartu pers yang sesungguhnya produktifitas karya jurnalistiknya masih layak dipertanyakan. Sebaliknya, mereka justru lebih memilih memanfaatkan kartu pers yang dikantonginya untuk kepentingan di luar tugas jurnalistik. Misalnya, kartu pers difungsikan sebagai kartu truf untuk melakukan tindak pemerasan dengan dalih memuat atau tidak memuat sebuah berita. Praktek kotor ala wartawan bodrek agaknya masih menjadi fenomena kelam dalam dunia pers nasional. Itulah sebabnya, kini media-media cetak maupun elektronik terang-terangan mengkomunikasikan ke khalayak bahwa wartawannya ‘diharamkan' menerima sesuatu pemberian dari nara sumber.

Tentu, persoalannya, terlalu naif jika nantinya institusi pers harus kehilangan kepercayaan publik hanya gara-gara merebaknya praktek-praktek kotor sebagaimana yang lazim dimainkan wartawan bodrek.

Citizen Journalist

Kini, jurnalisme era baru tiba. Berita di koran, majalah, radio, maupun televisi, tak lagi milik dan monopoli wartawan. Melalui citizen journalism (jurnalisme warga) yang menjadi genre baru dunia pers, siapapun bisa menjadi wartawan. Sekalipun tak berkalung kartu pers, pewarta warga ini mampu melakukan reportase, investigasi, menulis berita dan menerbitkannya melalui media-media berbasis citizen journalism.

Di dunia maya, citizen journalism sudah jauh berkembang sedemikian pesat. Banyak portal yang kini mengandalkan sajian tulisan, news dan foto-foto dari hasil reportase pewarta warga (citizen journalist).

Selain sebagai pensuplai tulisan, sekaligus, para pewarta warga ini juga berperan menjadi pembaca setia media-media berbasis citizen journalism itu.

Media berbasis warga yang dikelola secara profesional, kenyatannya juga tak kalah gengsi dengan ‘media konvensional' . Sebut saja, situs berbasis citizen journalism yang bermarkas di Seoul Korea Selatan, OhmyNews.com.

Dengan mengandalkan pewarta warga, situs ini telah berkembang pesat dengan 60.000 reporter warga yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Situs berita dan informasi ini dibaca tak kurang sekitar 750.000 pengguna setiap harinya (Pikiran Rakyat, 9/2/2007).

Di Indonesia, citizen journalism juga sudah bermunculan. Sebut saja, situs KabarIndonesia.com yang bermarkas di Netherland, Belanda. Dalam kurun waktu sekitar 15 bulan terakhir, situs yang popular dengan sebutan Harian Online KabarIndonesia (HOKI) itu telah mempunyai sekitar 3.000 reporter warga. Mereka itulah yang selama ini menjadi pensuplai tulisan sekaligus juga jadi pembacanya.

Yang menarik lagi, dalam penerbitan edisi cetak, koran-koran terkemuka nasional kini juga mulai merintis rubrik yang diperuntukkan bagi para citizen journalist. Itu artinya, keberadaan pewarta warga ke depan bisa bertambah menggurita. Nah, jika praktek citizen journalism sudah melembaga, jangan heran seandainya kelak banyak orang tak berkalung kartu pers, tapi mereka bisa menghasilkan karya-karya jurnalistik.

Ini akan berbanding terbalik dengan fenomena ‘wartawan bodrek' yang berkalung kartu pers, tapi mereka miskin karya jurnalistik.

Dalam catatan Nasihin Masha, citizen journalism lahir sebagai sebuah perlawanan. Yakni, perlawanan terhadap hegemoni dalam merumuskan dan memaknai kebenaran. Perlawanan terhadap dominasi informasi oleh elite masyarakat. Akhirnya, perlawanan terhadap tatanan peradaban yang makin impersonal (Republika, Rabu, 7/11/2007).

Tak salah memang. Sebab, media pers yang sering disebut-sebut sebagai pilar keempat demokrasi (fourth estate) setelah eksekutif, yudikatif dan legislatif, realitasnya kadang menampakkan wajah yang jauh dari publik yang jadi penopangnya. Ketika pers sudah melembaga di bawah naungan para pemilik modal, bukan tidak mungkin pers kehilangan ‘daya jotos' dalam menyuarakan aspirasi yang berpihak pada kepentingan publik.

Karena itulah, munculnya citizen journalism menjadi urgen untuk membangkitkan kembali ghiroh pers sebagai penyambung lidah publik yang kadang kerap menjadi korban hegemoni kekuasaan. Sebab, betapapun, merebaknya komunitas citizen journalism adalah sebuah fenomena yang tak bisa dipandang sebelah mata.


sumber HOKI kabarindonesia.com

Comments :

1
sebar iklan gratisan mengatakan...
on 

hanya sayangnya tidak ada payung hukum untuk melindungi citizen journalism minimal organisasi journalism untuk bliogger

Posting Komentar